Namaku Alice

Sem Irviady Surya
Chapter #2

Rumah Pohon


Ketika matahari terbit di hari pertama tinggal di rumah itu, semua kegelapan berubah jadi pagi yang cerah. Segala kegaduhan dan suara-suara yang mengganggu dari luar lenyap begitu saja. Cahaya matahari pagi yang masuk dari jendela kini kembali menerangi dan menghangatkan seluruh sudut kamar Christine.

Violet dan Maddie sudah lebih dulu bangun dan sedang menyantap telur kocok dan kue panekuk sebagai sarapan mereka hari Minggu itu. Sementara, Christine masih terlelap untuk beberapa saat. “Tinny, bangun dan makan sarapanmu!” teriak Maddie dari dapur sambil menyajikan telur ke piring Violet. Christine membuka kedua matanya dan sadar hari sudah kembali terang. Tak lama, ia beranjak turun ke lantai satu. Ia masih mengenakan baju tidur dan rambutnya masih ikal. Kelopak matanya masih layu karena mengantuk. Namun, pelan-pelan ia melangkah turun ke ruang makan dan berdiri di bendul pintu masuk. 

“Selamat pagi, Tinny.” Maddie menyapa saat ia duduk dan mulai menyantap kue panekuknya. “Nyenyak tidurnya?”

Christine mengusap-usap matanya. Dengan lunglai, ia duduk dan menyuap potongan kue panekuknya. Mereka menyantap dengan hening.

“Begini,” ucapnya memecah ketenangan pagi antara mereka. “Ibu sudah cari bohlam lampu untuk mengganti lampu kandelirnya di garasi, tapi Ibu tidak menemukannya. Jadi, mungkin hari ini kita bisa pergi ke kota dan membelinya di toko perkakas atau di mal.”

Violet langsung kegirangan. Beberapa rencana langsung tersusun dalam benaknya. Ia ingin membeli beberapa boneka di sana sebagai teman boneka beruang ungu yang diletakkan pada kursi kosong di sebelahnya. Violet suka sekali dengan boneka. Ia hampir seperti pengoleksi. Berbagai jenis dan warna boneka terpajang rapi di rak-rak di kamarnya. Namun, ia tidak pernah menyentuhnya – kecuali saat sedang bermain dengan mereka – atau sampai dibawa tidur seperti kebanyakan gadis kecil sebayanya. Selesai bermain dengan mereka, ia akan menyusunnya kembali ke tempat semula.

“Sebaiknya kalian siap-siap setelah ini,” pinta Ibunya. Violet menyendok dua hingga tiga sendok sekali suap secepat yang ia bisa dan lantas lari menuju kamarnya. Namun, Christine tidak beranjak dari kursinya sedikit pun. Ia hanya menatap kosong pada kue panekuk yang tersisa setengah porsi di piringnya.

“Ibu,” panggil Christine beberapa saat kemudian. Maddie menoleh padanya. 

“Ada apa, sayang?” jawab Ibunya.

“Semalam Ibu ketuk pintuku, ya? Tengah malam?” tanya Christine. Maddie tersontak heran.

“Tengah malam? Ibu tidak mengerti maksudmu, Tinny. Ibu sudah tidur.”

“Huh!” desah Christine.

“Memangnya kenapa?”

“Ada yang mengetuk pintu kamarku tengah malam. Aku lihat bayangan di celah pintuku. Entah itu Ibu atau Violet.”

“Violet? Dia juga sudah tidur, Tinny. Ibu yang menidurkannya. Lagipula, dia ‘kan tidak pernah bangun tengah malam, kecuali kalau mimpi buruk. Tidak mungkin dia iseng mengganggumu tidur,” jelas Maddie yang menyuap kue panekuknya. Christine mengangkat kedua bahunya. “Mungkin kau salah dengar, Tinny. Lupakan saja.” Christine menaruh garpunya dan menatap Ibunya, lalu bersandar di kursi.

“Boleh aku tetap di rumah saja, Bu?” tanyanya.

“Lho, kau tidak mau ikut ke mal?” Christine menggeleng pelan.

“Aku tidak enak badan.”

Maddie mengerut keningnya terheran. Tangannya terjulur dan menyentuh kening Christine. “Tapi kau tidak demam, Tinny. Kau baik-baik saja?”

“Aku hanya lelah,” jawab Christine.

“Baiklah kalau begitu, tidak apa-apa. Istirahat saja.”

Maddie berdiri dan mengumpulkan piring-piring kotor dan mencucinya. Tak lama, ia berbalik saat Christine hendak keluar dari ruang makan dan bertanya lagi memastikan. “Kau yakin tidak mau ikut? Maksudnya, kau bisa beli keperluan sekolah besok. Mungkin tas baru?” Namun, putri sulungnya tetap menggelengkan dan beranjak keluar ruang makan.

Saat melangkah masuk ke kamarnya, Christine tertegun melihat sebuah benda asing di atas meja rias. Ia meraih benda itu. Ternyata, sebuah kunci warna perak yang entah dari mana asalnya. Terdapat tulisan kecil pada batang kunci tersebut. Sudah tergores dan hampir tidak terbaca. Tetapi, satu kata yang masih dapat terbaca bertuliskan sebuah nama seseorang, Alice. Keheranan membuatnya menaruh kunci itu ke dalam laci meja rias dan tidak menghiraukannya. Lalu, ia mengambil pakaian bersih dan segera beranjak ke kamar mandi dan membersihkan diri.

Beberapa menit kemudian, ia melangkah ke ruang depan saat Maddie memanggil Violet dan dirinya. Mereka berdua berdiri di hadapannya. Violet tampak cantik hari itu. Ia mengenakan celana rok biru, kaus dan rompi mini. Rambutnya diikat dengan bando merah muda. Salah satu tangannya menggenggam boneka beruang ungu yang lusuh dan kotor miliknya. Maddie sudah berusaha memintanya agar ia tidak membawa boneka itu, tetapi Violet enggan meninggalkannya. Boneka itu seolah-olah jadi bagian dari hidupnya sekarang. Pada akhirnya, Maddie luluh atas permintaannya. Lalu, matanya bergulir pada Christine yang juga memerhatikan adik perempuannya.

“Tinny, kau yakin tidak apa-apa sendirian di rumah?” tanya Maddie pada Christine lagi.

“Iya, Bu.”

“Baiklah, kalau begitu. Kunci pintu dan tunggu sampai kami pulang, ya. Telepon rumah ada di dapur. Kalau ada apa-apa, hubungi nomor ibu,” tuturnya. Christine mengangguk pada setiap pesan yang disampaikannya. Lalu, ia memerhatikan Maddie dan Violet melangkah ke teras dan masuk ke dalam mobil. Mereka berangkat dan melaju semakin menjauh dari pandangannya.

Karena belum punya ponsel pintar atau laptop, ia banyak menghabiskan waktunya membaca novel hari itu. Ia suka dengan buku dan memiliki berbagai buku novel romantis atau horor. Kebanyakan buku novel romantis. Kebosanan pun menghampiri. Kini, ia mengamati sekeliling kamarnya dari satu sudut ke sudut yang lain setelah membaca setengah buku salah satu novel karya Nicholas Spark.

Matanya berhenti di meja rias. Ia menyipit saat tiba-tiba melihat sebuah kunci perak tergeletak di atas meja riasnya. Kunci yang ditemukannya tadi pagi. Ia sangat yakin sudah menaruhnya ke dalam laci. Ia pun beranjak dan bergidik saat memeriksa kunci tersebut dan membaca sebuah nama, Alice.

Ia pun penasaran itu kunci apa. Awalnya, ia mengira itu kunci lemari di rumah pohon. Beberapa kali ia mencoba membukanya, lemari tersebut tetap tidak bisa dibuka. Lalu, ia ingat pintu ruangan sebelah kamarnya yang terkunci dan segera menuju ke sana. Ia memasukkan kuncinya ke dalam lubang kunci dan memutarnya. Jantungnya langsung berdetak kencang saat tiba-tiba ia mendengar suara klik pelan dan derit engsel pintu yang berderit. Pintu tersebut berhasil dibuka.

Pelan-pelan, ia melangkah masuk ke dalam. Ruangan itu sangat gelap, berdebu dan sempit dikelilingi empat sisi tembok batu bata. Di dalamnya, terdapat sebuah tangga spiral menuju ke atas dan sebuah lemari rak kayu yang sudah rusak. Tangga itu terbuat dari kayu dan tampak sudah usang. Dalam hati, Christine ragu apakah aman untuk menaiki tangga itu. Namun, rasa penasaran terus mendorong dirinya untuk tahu ada apa di atas sana.

Kayu papan anak tangganya mulai berderak di tiap langkahnya. Semakin tinggi ia naik, semakin kencang detak jantungnya memompa. Tinggi sekali untuk sampai ke atas sana seolah sedang naik menara tertinggi sebuah kastil. Sesampainya di atas, ternyata ruangan itu sebuah kamar tidur yang kotor dan berdebu. Christine terbelalak dengan keadaan kamar itu. Ia tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Kamarnya tampak tidak tersentuh selama bertahun-tahun. Mungkin itu karena selama ini pintunya dikunci dan tak ada yang bisa membukanya.

Kamarnya mirip dengan kamar Violet. Dindingnya di cat warna putih susu dan boneka-boneka kotor bersarang laba-laba tertata rapi di rak-rak dinding. Hanya saja jumlahnya tidak sebanyak boneka di kamar Violet. Di depannya, ada jendela kecil cukup untuk cahaya masuk dan menerangi seluruh sudutnya, tetapi tidak menghadap ke halaman belakang.

Jendela itu menghadap ke jalan utama dan halaman depan rumah. Ia tidak dapat melihat ke luar dengan jelas saat ia melongok dari jendela itu. Kacanya baret, buram dan kotor. Ia berusaha mengangkat bingkai jendela tersebut, tetapi tidak bisa. Mungkin jendelanya terkunci atau engselnya sudah macet.

Lalu, ia melangkah ke sisi lain kamar itu, pada sebuah meja belajar yang berdebu dan berantakan. Ada beberapa kertas gambar dan beberapa krayon yang bertebaran. Mula-mula, ia memilah gambarnya dan memerhatikannya satu demi satu. Gambarnya hanya coretan krayon hasil tangan anak kecil. Namun, tiba-tiba ia berhenti memilah saat salah satu gambar tersebut.

Sketsa sebuah kamar dengan tempat tidur, meja rias, jendela persegi, dan sebuah lemari awalnya memberi kesan. Ia tahu gambar itu denah kamarnya. Beberapa gambar yang lain juga saling berkaitan satu sama lain. Tetapi, semakin ada yang aneh pada setiap gambarnya. Dua daun pintu lemari perlahan-lahan terbuka. Pada kertas gambar terakhir, coretan hitam besar asal-asalan tergambar di dalam lemari. Christine lantas bergidik memandangi gambar itu seolah menunjukkan sebuah bayangan misterius hitam di dalamnya. 

Perlahan, ia kembali menaruh sketsa itu dan menjelajahi bagian lain kamarnya. Baru akan membuka lemari kayu tua dekat meja dan tempat tidur, samar-samar terdengar suara mesin mobil berdengung. Lantas, ia buru-buru beranjak ke tangga hingga tidak sengaja menyenggol sebuah meja kecil dan menjatuhkan suatu benda ke lantai. Bunyi benturan benda itu menarik perhatiannya. Langkahnya terhenti seketika.

Alih-alih turun tangga, ia berjongkok dan mengambilnya. Lagi-lagi, sebuah kunci kecil warna silver perak. Pada bagian tertentu terasa kasar dan berpasir. Bagian ujungnya bergerigi dan bagian batangnya tertulis sebuah nama yang sama seperti kunci kamar loteng ini, Alice.

Pintu mobil terbanting ketika Christine sedang mengunci kembali pintu kamar tersebut. Segera ia lari ke ruang depan dan membuka pintu depan tepat sebelum Maddie sempat meraih gagangnya. Ibunya berdiri terpaku dan mengerutkan kening, terheran melihatnya. Ia sadar Christine tampak terengah-engah.

Lihat selengkapnya