Keesokan harinya, Maddie sudah menunggu kedua putrinya di lantai satu. Ia terus merapikan kemeja putih dan membersihkan celananya seolah-olah tampak kotor di hari pertama bekerja. Beberapa menit kemudian, Christine dan Violet akhirnya turun. Si putri sulung memakai celana jeans dan kaos bertuliskan, I am a good girl. Kaus itu yang biasa ia pakai ke sekolah lamanya. Ia tampak tidak nyaman memakainya sekarang. Tetapi, itu hari pertamanya di sekolah yang baru dan ia tidak tahu lagi harus memakai baju apa. Lain halnya dengan Violet, ia terlihat sangat cantik dengan gaun biru muda dan pita kecil merah muda tersemat di rambutnya.
“Kalian sudah siap?” tanya Maddie. Mereka menganggukkan kepala.
Butuh waktu lima menit saja naik mobil untuk sampai ke sekolah mereka. Beberapa anak-anak terlihat sedang memarkirkan sepeda mereka di rak sepeda, lalu berlarian ke dalam gedung sekolah. Sementara, beberapa anak lainnya saling bercengkerama di tangga gedung sembari menunggu bel masuk. Maddie menepikan mobilnya di depan plang titik jemput. “Baiklah, anak-anak. Selamat bersenang-senang di sekolah, ya,” katanya sebagai ucapan sampai jumpa pada Christine dan Violet.
Mereka turun dari mobil dan bergegas masuk ke kelas masing-masing. Violet berlari menghampiri seorang wanita yang sedang menunggu anak-anak kecil sebayanya seolah ia sudah tahu bahwa itu gurunya. Tak lama, wanita itu menuntun mereka ke dalam kelas. Sedangkan, bagi Christine mencari kelas sendiri adalah penyiksaan. Ia hanya mengandalkan catatan di secarik kertas yang diberikan ibunya bertuliskan, “Kelas 8B, lantai 2.” Ia bahkan tidak tahu dimana tangga naik ke lantai dua. Untunglah, seorang wanita berkacamata dan berambut keriting berpas-pasan dengannya di lorong. Wanita bernama Karen itu sangat cantik, hampir mirip seperti artis Hollywood. Ia berhenti di depannya, tersenyum pada Christine yang sedang kebingungan. “Aku yakin kau pasti tersesat mencari kelasmu, ‘kan?” terkanya. Christine mengangguk pelan dan pipinya memerah karena malu. Tangan wanita itu merangkul pundaknya lembut, lalu mereka berjalan bersamaan. “Mari, aku bantu menunjukkan kelasmu.”
Ternyata, kelas sudah mulai beberapa menit yang lalu. Saat Christine menginjakkan kaki ke ruang kelasnya, semua mata tertuju padanya. Seorang wanita yang memakai gaun dan kemeja kuning ala 90’an dengan bando putih di kepalanya juga berhenti menulis sesuatu di papan tulis dan menoleh padanya. Tersemat tanda pengenal bertuliskan Wendy di dadanya. Christine tahu bahwa hari itu hari pertama ia terlambat masuk sekolah juga. Tetapi, Wendy yang ternyata guru barunya hari itu memberikan toleransi kepada Christine berkat Karen.
“Baiklah, perhatian semuanya. Sepertinya kita kedatangan teman baru yang akan bergabung dengan kita selama semester ini,” terangnya kepada murid yang lain. “Majulah, nak. Selamat bergabung dengan kami. Silahkan perkenalkan dirimu.”
Anak-anak lain menatapnya dengan wajah serius. Mereka menunggu Christine bicara. Sebenarnya, ini adalah hal menakutkan baginya, menjadi pusat perhatian. “Salam kenal semuanya,” katanya. “Aku Christine, baru pindah dua hari yang lalu. Kami tinggal di rumah No. 304.”
Bu Wendy dan murid-murid lainnya tampak tersentak ketika ia mengatakannya. Kelas pun mulai ribut. Christine dapat mendengar gumam dan desas-desus mereka seolah tidak ada yang tampak berusaha untuk berbisik atau diam-diam bergosip. Seperti halnya anak laki-laki berkacamata tebal, tampak seperti kutu buku yang duduk di kursi paling belakang. Ia bergumam kepada anak lain di depannya.
“Aku tahu rumah itu. Aku dengar ada pembunuhan di sana dulu.” Atau seorang gadis cantik, berambut pirang sebahu, dan memakai kawat gigi di bangku baris paling depan.
“Dia sudah gila tinggal di rumah itu. Aku bahkan tidak berani untuk masuk ke dalam,” katanya pada gadis lain di bangku sebelahnya. Apa yang sebenarnya mereka takutkan?
“Baiklah, cukup semuanya!” peringat tegas Bu Wendy terlontar saat mendengar kelas jadi lebih gaduh beberapa menit kemudian. “Nak, kau bisa duduk di belakang sana,” suruhnya kepada Christine. “Dan silahkan buka buku Geografi kalian halaman 29, ya?”
Sewaktu bel istirahat berbunyi, Christine menyantap makan siangnya dan duduk sendirian di kursi kantin. Ia belum mengenal siapa-siapa di sekolah itu dan mereka juga tampak belum mengenalnya. Tiba-tiba, seorang anak laki-laki berkacamata tebal menghampirinya. Ia duduk sebangku dengan Christine seolah tahu bahwa ia memang sedang butuh teman bicara.
“Aku boleh duduk di sini, ‘kan? Kita sekelas. Kuharap kau tak keberatan,” katanya saat ia menyeruput kotak jusnya.
“Iya, boleh,” jawab Christine canggung.
Mereka berdua hanya duduk dan menyantap makan siang masing-masing sembari mendengarkan kegaduhan di kantin sekolah. Namun, mereka tampak menikmatinya.
“Ngomong-ngomong, kenalkan aku Harold.” Akhirnya, ia mulai bicara.
“Christine,” jawabnya singkat. Harold mengangguk dan ia menggigit roti lapisnya yang dikeluarkan dari kotak makan siangnya.
“Jadi, kenapa kau pindah kemari?”
“Karena Ibuku. Dia punya pekerjaan baru di sini. Aku dan adikku terpaksa harus pindah.”
“Oh, Ibumu kerja apa?” tanyanya, lalu menyeruput jusnya lagi.
“Penyunting buku anak.”
“Bagaimana dengan ayahmu? Dia tidak ikut pindah dengan kalian?” tanya Harold. Seketika, Christine terdiam. Raut wajahnya berubah murung sembari menunduk ke makan siangnya.
“Dia … sudah pergi,” jawabnya lesu beberapa saat kemudian.
“Aku turut prihatin. Perceraian memang yang paling sulit, bukan?” Salah satu alis Harold naik. Ia berhenti menggigit roti lapisnya dan menunggu jawab dari Christine.
“Bukan cerai.” Christine berusaha menyingkirkan rasa duka yang mulai merayapi tubuh dan pikirannya kembali. Ia menarik napas, membuangnya perlahan lewat mulut dan kemudian memberanikan diri menatap Harold. “Ayahku meninggal dua bulan yang lalu. Kecelakaan mobil.” Seketika, ia merasa lega saat mengatakan hal tersebut. Maksudnya, secara tidak langsung masih ada yang peduli dengan perasaannya selama ini. Meskipun pada akhirnya, Harold menyesal menyinggung soal ayahnya.
“Tidak apa-apa,” ujar Christine. “Aku senang punya seseorang yang bisa diajak cerita. Teman di sekolah lamaku selalu bicara soal Ayah mereka seolah mereka tidak tahu aku baru saja kehilangan ayahku. Lalu, Ibuku memaksa kami pindah ke kota ini. Katanya untuk mulai hidup baru. Tidak ada yang mengerti perasaanku selama ini, bahkan Ibuku sendiri.”
“Aku mengerti,” jawab Harold sembari melontarkan sedikit senyum dan lanjut menyantap habis makan siangnya. Harold teman pertama di sekolah itu yang mulai akrab dengannya. Mereka saling bercerita tentang diri mereka masing-masing hari itu. Alangkah terkejutnya, ternyata mereka memiliki banyak kesamaan.
Seusai sekolah, Christine dan Violet menunggu di tempat titik penjemputan sekolah. Mereka sedang menunggu Maddie menjemput sepulang sekolah. Namun tidak kunjung muncul. Sekitar satu jam berlalu, mobil Jeep merah tiba-tiba berhenti di depan mereka. Kaca hitam mobil diturunkan oleh seseorang pria yang memakai jaket kulit sembari melepas kacamatanya.
“Paman Ben!” sontak Christine dan Violet bersama. Ben adalah kakak laki-laki Maddie. Ia ditelepon hari itu untuk menjemput mereka di sekolah, sebab Maddie tidak akan sempat karena pekerjaannya yang menumpuk di hari pertamanya. Christine duduk di kursi depan dan Violet di kursi belakang. Saat sedang memasangkan sabuk pengaman, Christine terheran dan bertanya-tanya dimana ibunya. Bukankah dia yang seharusnya menjemputnya?
“Sedang apa Paman di sini?” tanya Christine. “Bukankah Paman seharusnya berada di Memphis sekarang?”
“Paman dapat dua hari libur. Jadi, Paman langsung ke sini, sekalian ingin melihat rumah baru kalian. Ibu kalian yang menelepon Paman tadi,” jelas Ben, menebar senyum pada mereka, lalu melajukan mobilnya.
Dalam perjalanan pulang, Violet tampak bersemangat saat Ben mengunjungi mereka. Saat itu, mereka tidak langsung pulang ke rumah. Ben pria lajang yang berpenghasilan. Hari itu, ia mengajak kedua keponakannya jalan-jalan ke kota, membeli es krim dan jajanan yang mereka suka. Dengan syarat, mereka harus merahasiakan semuanya dari Maddie. Violet tidak berhenti bicara dan sepertinya tidak ada niat untuk berhenti seolah ia sedang berbincang dengan Ayahnya sendiri. Ia menceritakan semua hal tentang rumah barunya, mainan dan boneka tua yang ditemukan di rumah pohon, juga soal teman imajinasinya.
“Siapa tadi namanya?” tanya Ben. Ia tidak heran mendengar Violet punya teman imajinasi. Itu wajar. Lagipula, ia juga sudah terbiasa dengan orang yang punya teman imajinasi sejak dirinya masih kecil, Maddie.