Namaku Alice

Sem Irviady Surya
Chapter #4

Ruang Bawah Tanah

Hari Selasa pagi, Maddie melangkah masuk ke masing-masing kamar putrinya, membangunkan mereka sekolah. Ben sudah pulang sebelum keponakannya bangun. Ia harus pulang ke Memphis karena urusan mendadak saat fajar menyinsing dan hanya sempat mengucapkan selamat tinggal pada Maddie. Ketika Christine membuka matanya dan terduduk di tempat tidur, seluruh badannya terasa pegal-pegal dan lemas. Ia tidak tahu kenapa hari itu rasanya sangat lelah seperti habis beraktivitas berat. Namun, ia juga tidak bisa bolos hari kedua sekolah.

Kegiatan sekolah berjalan seperti biasa. Saat bel istirahat berbunyi, Christine sudah duduk di bangku pojok kantin dengan Harold. Mereka semakin kenal baik. Terkadang Harold bergosip soal beberapa anak murid di sekolah itu; siapa saja yang mereka sukai, bisa diajak bergaul dan siapa saja yang harus dijauhi. Harold juga cerita tentang teman sebangku di kelas drama, Johny. Semua anak-anak murid yang lain menyebutnya Sang Ilusi, karena ia bisa melakukan semua trik sulap yang diajarkan oleh ayahnya.

“Mungkin kita harus lebih sering bergaul dengannya. Dia pasti akan mengajarkanmu cara bermain sulap juga. Bagaimana kapan-kapan kita main ke rumahmu saja?” ujar Harold.

“Ah, kau tidak akan betah di rumahku. Bahkan aku sendiri tidak betah tinggal di sana,” jawab Christine dengan malas.

“Sudah kuduga. Kukira kau betah tinggal di rumah itu.” Christine seketika menoleh padanya dan mengernyitkan alis.

“Maksudmu?” tanyanya.

“Maksudku, aku tahu rumahmu. Dulu itu rumahku juga, aku tinggal di sana tahun lalu dan hanya bertahan satu bulan.” Harold mengangkat jari telunjuk dan melipat jari yang lain.

“Aku masih tidak paham. Kenapa begitu?” Christine semakin bingung. Harold mendorong naik kacamatanya yang merosot dari ujung hidungnya.

“Dengar, aku tak terlalu yakin seratus persen tapi ada rumor yang beredar di sekitar sini,” jawabnya. “Katanya, ada yang terbunuh di rumah itu.” Ia agak berbisik. “Ibuku punya kenangan buruk soal pembunuhan. Saat dengar rumor itu, tak lama setelahnya kami langsung pindah. Sekarang aku tinggal di rumah yang baru, tidak jauh dari sekolah. Juga, pelakunya belum tertangkap sampai sekarang.”

“Kau bercanda, ‘kan?” Christine sedikit terkesima mendengarnya. 

“Aku dengar apa yang kudengar. Kasusnya ditutup tahun lalu karena polisi tidak menemukan petunjuk apapun. Sejak itu, rumahnya jadi terbengkalai sebelum aku pindah ke sana. Aku masih ingat mimpi buruk hampir terjadi setiap malam saat masih tinggal di sana.”

Tiba-tiba, Christine lantas teringat kejadian semalam; sesosok gadis cilik dengan darah di bajunya dan tubuh penuh luka yang menampakkan diri padanya. Ia langsung bertanya-tanya, apa mungkin mimpinya itu juga yang dimimpikan oleh Harold?

“Aku mimpi buruk juga semalam,” katanya. “Aku melihat sosok gadis cilik di dalam kamarku. Dia berteriak minta tolong padaku. Suaranya terdengar seperti sedang kesakitan atau marah. Entahlah. Kukira itu adikku, Violet. Tapi anehnya, aku merasa seperti bukan mimpi, kau tahu. Aku bisa merasakan kedua tangannya yang dingin di pipiku.” Ia menceritakan segala yang terjadi kemarin malam dan tiba-tiba sebuah nama terlintas di benaknya. “Apa kau pernah dengar soal anak gadis bernama Alice?” tanya Christine tiba-tiba.

“Siapa?” Harold balik bertanya. Alisnya mengernyit.

“Alice. Dia ... teman khayalan adikku. Tapi aku selalu merasa dia bukan khayalan. Barangkali, kau mungkin pernah dengar rumor tentangnya juga. Ini akan terdengar gila, tapi kurasa dia ada hubungannya dengan pembunuhan yang kau ceritakan tadi.”

“Hmm … Entahlah, terdengar tidak asing tapi aku tidak yakin.” Harold mengangkat bahu. Lalu, ia menghabiskan makan siangnya tepat sebelum bel kelas berbunyi.

Sepulang sekolah, Maddie tidak kunjung menjemput mereka lagi. Mungkin karena ada urusan pekerjaan mendadak seperti kemarin. Violet dan Christine terpaksa pulang ke rumah dengan jalan kaki. Dari belakang, Harold berseru memanggil mereka berdua, “Kalian berdua! Tunggu aku!” Ia setengah berlari. Kakinya yang pendek daripada kebanyakan anak laki-laki di sekolah berusaha keras melangkah cepat menyusul mereka. Mereka berjalan bersama sampai perempatan pertama, lalu berpisah. “Sampai bertemu besok.” Harold melambaikan tangan pada mereka dan kemudian berbelok ke kanan menuju rumahnya yang tak jauh dari perempatan itu.

Sekitar sepuluh menit kemudian, Christine dan Violet akhirnya sampai di rumah. Mereka tertegun melihat mobil ibunya masih terparkir di jalan masuk mobil. 

“Ibu ada di rumah tapi kenapa tidak menjemput kita di sekolah?” kata Christine membatin sambil menatap mobil merah itu. 

Mereka pun melangkah masuk ke dalam rumah dan keduanya berseru. “Kami pulang!” Suara lantang mereka menggema ke seluruh sudut rumah seolah rumahnya kosong.

“Ibu di sini, anak-anak!” Maddie balas berseru. Suaranya terdengar samar-samar seolah berada di ruang yang jauh di dalam rumah itu. Christine lantas mengayunkan tasnya pada Violet dan menitahkannya naik ke lantai dua. Lalu, ia mengayunkan kakinya ketika melangkah menyusur lorong tengah sembari mencari ibunya. Bukan pekerjaan yang sulit untuk Violet yang membawa dua tas sekolah sekaligus naik tangga. Tas kakaknya sangat ringan seolah tidak bawa apa-apa.

“Ibu?” Christine memanggil. “Ibu dimana?” Ia terus menelusuri lorong dan masuk ke setiap ruangan yang ia temui; ruang kosong, ruang keluarga, dan kamar mandi. Lalu, tiba-tiba langkahnya berhenti di depan lorong buntu.

“Ibu ada di sini, Tinny. Kemarilah!” seru suaranya lagi. “Masuk ke ruang bawah tanah!” Suaranya memang berasal dari ujung lorong buntu tersebut. Tapi sedang apa ibunya di sana?

Lihat selengkapnya