Beberapa saat kemudian, Christine menggandeng tangan Violet dan menuntunnya kembali ke kamarnya. Sementara itu, Maddie sibuk membereskan puing-puing kayu pintu rubanah yang hancur. Mereka beruntung dapat menyelamatkan Violet tepat waktu, tetapi mereka masih terheran-heran apa yang sesungguhnya terjadi padanya. Saat sudah sampai di lantai dua, Christine berusaha menenangkan Violet. Ia memeluknya dan mengusap-usap helai rambutnya dengan jemarinya, mengajaknya bermain boneka, alih-alih penasaran pada apa yang telah terjadi padanya. Namun, Violet hanya diam dan terus menatap jendela kamarnya. Matanya membelalak dan tampak kosong.
Beberapa menit kemudian, Maddie melangkah masuk ke dalam kamar Violet dan membawakannya segelas air putih untuknya. Ia duduk di samping Violet dan merangkul pundaknya. Sambil menyodorkan gelas, ia berusaha mengajaknya bicara. Ia sadar, dilihat dari raut wajahnya, putri kecilnya masih syok. Lalu, Violet meneguk airnya, seteguk, dua teguk.
“Sayang,” ucap Maddie. Ia mengusap-usap lengan dan menyisir rambutnya yang kusut. “Kau baik-baik saja?” Tetapi, Violet tetap tidak menjawab. Ia memiringkan kepala ke pundak Maddie, namun matanya tidak berhenti menatap kosong jendela kamar.
Christine sudah sedari tadi meninggalkan mereka berdua dan beranjak ke kamarnya sendiri. Ia berbaring dan juga berusaha menenangkan diri. Sesungguhnya, ia penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi pada adik perempuannya di rubanah itu. Ia sempat mendengar pekikan lantang, suara seperti sesak napas dan batuk-batuk.
“Adakah seseorang yang menyakitinya? Tapi siapa yang sedang bersamanya?” Ia membatin.
Semua misteri itu mulai membuat kepalanya berkunang-kunang. Semakin ia membayangkannya, bulu-bulu tangan dan lehernya semakin menegang dan membuatnya terus gelisah.
Karenanya, ia melompat dari tempat tidur dan melangkah keluar kamar lagi. Langkahnya berhenti di ambang pintu kamar Violet saat tak sengaja mendengar percakapan antara ibu dan adiknya. Meski masih terdengar malas, Violet menoleh pada Maddie dan mulai bersuara. Tetapi, ia tidak terdengar seperti gadis cilik yang riang seperti sebelum kejadian itu. Kepalanya menunduk saat ia mengatakan bahwa ada seseorang yang menariknya ke dalam sana. Seseorang yang dianggapnya teman selama ini.
“Violet,” kata Maddie, mengurai-urai rambutnya yang kusut. “Cerita pada Ibu semuanya. Apa dia yang menyakitimu di sana?”
Tiba-tiba, matanya bergulir ke ambang pintu dan menatap tajam pada Christine yang bersandar sambil menyilangkan tangan, lalu sesaat kemudian kembali menatap Maddie lagi. “Aku ingin main di rumah pohon, Bu” pinta Violet, malas. Sikapnya hari itu mulai membuat Maddie hampir tidak mengenal mengenalnya lagi.
“Kau yakin baik-baik saja, sayang?” Maddie bertanya. Violet kembali diam. “Baik kalau begitu, kau boleh bermain di sana. Tapi kakakmu harus ikut menemanimu, ya?” Maddie menoleh ke ambang pintu dan melihat Christine. Lalu, mereka berdua memerhatikan Violet yang beranjak dari tempat tidur dan melenggang pergi keluar kamarnya.
“Tinny,” ujar Maddie, menghampirinya. “Ibu harus pergi kerja dulu. Ini mendadak.”
“Oh, kupikir, Ibu sedang libur,” jawab Christine.
“Kabari ibu saja kalau ada apa-apa dan … coba bicara dengan adikmu, ya? Ibu tidak akan pulang larut malam.”
Beberapa saat kemudian, Christine melangkah ke halaman belakang saat Maddie sudah pergi kerja. Lalu, ia lantas memanjat ke rumah pohon. Sesungguhnya, hari itu adalah hari yang kurang baik untuk bermain di rumah pohon. Langit begitu kelabu di luar dan membuat lingkungan sekitarnya perlahan-lahan gelap. Angin berembus kencang, meniup papan-papan kayu rumah pohon hingga sedikit bergetar. Udara juga terasa dingin siang menjelang sore itu sampai menusuk kulit seolah musim dingin sedang berlangsung. Tetapi, Violet terlihat tidak terganggu dengan semua itu. Ia tetap bermain dengan boneka beruangnya di pojok rumah pohon. Sejak berada di atas sana, Christine sudah berfirasat ada yang tidak beres saat melihat Violet bermain dengan tenangnya seolah ia sudah lupa apa yang baru saja terjadi pada dirinya.
“Violet,” panggil Christine. Ia merangkak dan duduk bersela di sebelahnya sembari mengawasi bermain. Tetapi, Violet tidak merespon apa-apa atau sekadar menoleh padanya. “Hei, boleh … aku ikut bermain denganmu juga?” Pada akhirnya, Violet menoleh dan menjawab.
“Tidak. Aku sudah bermain dengan seseorang.”
Christine terkesima sembari menoleh ke kanan dan kiri. Tiba-tiba, rasa bergidik datang mengejutkannya. “Tapi … tidak ada siapa-siapa di sini selain kita, Violet.”
“Alice ada di sini,” jawab Violet sambil menunjuk ke depan. “Dia sedang bermain denganku.” Perasaan merinding semakin mencekam Christine saat mendengar jawabnya. “Kau tidak perlu mengawasi kami, kalau tidak mau.” Lalu, Violet kembali membelai boneka beruangnya dan tertawa seolah memang ada seseorang yang sedang bermain dengannya. Tawanya kala itu terdengar seperti tidak dibuat-buat. Christine pun mengernyitkan alisnya ketika menyadari sesuatu yang lebih aneh lagi. Di antara banyaknya boneka yang ia punya, hanya satu boneka yang sedari tadi dimainkan atau peluk, dan tidak biasanya Violet hanya bermain satu boneka saja.
Christine menarik napas dalam dan membuangnya lewat mulut. Ia berusaha agar tetap tenang, meskipun ia masih gelisah dan membuatnya ingin tahu lebih banyak tentang Alice. “Violet, boleh aku tanya sesuatu?” tanya Christine. Violet menoleh pada Christine, lalu mengangguk pelan. “Kau mau cerita padaku soal temanmu, Alice?”
Violet terus menatapnya, tepat ke matanya dengan tajam. Lalu, beberapa saat kemudian, ia menjawabnya. “Ia takkan mengizinkanku membicarakan tentangnya lagi.”
“Kenapa?” Tatapan dingin Violet membuat Christine tertegun dan bergidik, namun ia mengangkat kedua bahunya dan kembali bermain boneka. “Ayolah, aku janji tidak akan menyakitinya. Kau bisa ceritakan padaku. Aku hanya ingin tahu,” desak Christine. Violet menggulir bola matanya kembali kepadanya, lalu pada boneka beruangnya, membelai bulu-bulunya beberapa kali. “Mungkin, aku bisa jadi temannya juga.”
Violet melirik cepat pada Christine lagi, lalu mendesah kecil. Pada akhirnya, ia membuka mulut. “Apa yang ingin kau cari tahu?” tanya Violet. Christine akhirnya dapat menatap kedua mata adiknya yang kebiru-biruan, benar-benar menatapnya.
“Aku hanya ingin tahu semua yang kau tahu lebih dalam daripada yang kau katakana pada Ibu.”
“Baiklah. Namanya Alice Stronghold. Ia hanya seorang anak gadis, beberapa tahun lebih tua dariku. Ia cantik dan selalu memakai gaun putih. Aku menyukainya,” jawab Violet tanpa ada rasa keberatan saat mulai menceritakannya. Sesaat, segores senyuman melengkung di wajah Christine. Ia bisa membayangkan seorang gadis cilik berparas cantik, berambut panjang dan memakai gaun putih seperti ucapnya. “Ia kesepian di rumah ini dan hanya aku teman yang ia punya.”
Di tengah-tengah perbincangan mereka, tiba-tiba engsel pintu berderit. Keduanya tertegun dan menoleh ke arah pintu lemari kecil yang mengayun terbuka di depan mereka. Christine merinding lagi dan jantungnya berdegup kencang. Embusan dingin meniup lembut helai rambutnya seperti embusan napas seseorang. Bau anyir pun tiba-tiba tercium sangat busuk dan menyengat hidungnya. Ia mengernyitkan matanya dan menutup hidungnya dari bau busuk yang dihirupnya.
“Ah, bau apa ini? Busuk sekali!” Christine mengeluh.
“Lihat saja ke dalam lemari itu. Kau akan tahu.” Telunjuk Violet menyorong ke arah lemari tersebut. Seketika, Christine menoleh padanya dan mulai terheran.
Lalu, akhirnya ia perlahan melongok ke dalam dan membongkar barang-barang di sana. Bau busuk tersebut semakin tercium jelas saat ia sedang berusaha membongkar barang-barang di dalam lemari itu. beberapa saat kemudian, tiba-tiba, ia kembali terkejut saat menemukan sebuah pintu di dasar lantai lemari itu.
“Tunggu sebentar! Ada pintu lain di sini! Perasaan, aku tidak melihat ada pintu di sini sebelumnya,” batinnya. Sesaat, ia menoleh pada Violet yang mengawasinya sedari tadi, lalu menggulir matanya lagi ke dalam lemari tersebut. Di sisi pintu itu ada sebuah tali merah kecil yang terpaku di kayu pintu itu, seolah itu gagang pintu. Ia pun meraih tali kecil dan menariknya.
Di dalamnya, ada dua karung panjang dan kotor dengan tanah yang terbaring di dasarnya. Bau busuk kini benar-benar tercium. Karena penasaran, ia membuka ikatan salah satu dari karung tersebut. Tangannya menjulur dan meraba-raba isi karung itu. Ia menyentuh sesuatu berbentuk bulat, kasar dan keras seperti batu.
“AAAH!”
Pekiknya pecah dan tidak terbendung lagi saat ia mengeluarkan benda yang dipegangnya itu. Sekujur tubuh dan wajahnya berubah pucat seperti bertemu dengan hantu. Hanya saja, ia tidak bertemu dengan hantu, melainkan sesuatu yang lebih buruk. Dua sisa-sisa tengkorak manusia ternyata terbaring di dalam karung-karung kotor itu. Christine lantas panik; napasnya terpengal-pengal saat melihat sisa-sisa jasad manusia di hadapannya. Ia semakin gelisah saat menoleh pada Violet dan malah melihat senyumnya memekar, sambil menatap tulang-belulang manusia itu seolah tidak ada kengerian di matanya sedikit pun.
“Itu Alice,” ucap Violet.
Christine berdiri dan tergesa-gesa turun dari rumah pohon. Ia lari ke dalam rumah, menuju dapur, meraih gagang pesawat telepon dan menekan nomor telepon. Alih-alih menelepon ibunya, nada telepon malah tersambung kepada seorang wanita.
“Layanan darurat 911, ada darurat apa?” jawab sang wanita operator di telepon.