"Apa yang terjadi?” seru Maddie. Ia berjongkok, lalu merangkul Christine dan membantunya berdiri. Christine berusaha menjelaskan apa yang terjadi. Tangisan, ketakutan, dan kepanikan yang terdengar tidak dibuat-buat bercampur jadi satu dalam suaranya saat bicara. Namun, tetap saja, Maddie malah menganggap semua itu hal sepele. Ia tidak percaya sedikit pun dengan perkataannya yang tidak masuk akal tersebut. Christine pun kesal dan amarahnya meledak. Sementara itu, Violet hanya berdiri di ambang pintu kamar, mengawasi Maddie dan Christine yang kini bercekcok soal gadis seram yang menerornya tadi. Senyumnya sedikit melengkung dan tampak licik, seolah ia tahu akan hal tersebut dan siapa dalang dibalik semua itu.
Nahasnya, teror seperti itu tidak hanya terjadi pada malam tersebut saja. Hampir tiap malam, teror yang berbeda terjadi dan semakin membuat Christine ketakutan setengah mati. Tidurnya terus terganggu seperti di hari-hari awal ia pindah ke rumah itu. Suatu malam, ia terbangun oleh suara derak lantai kayu dan langkah kaki berlari-larian dari luar kamarnya. Ia terduduk di tempat tidur dan celingukan ke sekitar. Tetapi, suara langkah kaki tersebut seketika lenyap. Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka dan sosok bayangan hitam berwujud anak perempuan menampak di ambang pintu.
Christine terbelalak melihat bayangan tersebut. Ia tidak bisa melihat siapa atau apa yang sedang berdiri di sana karena ruang kamarnya yang terlalu gelap.
“Violet?” Ia menerka-nerka. “Kenapa … kenapa kau belum tidur?” Bayangan itu menggeleng pelan, lalu berbalik badan. Ia melenggang pelan keluar dari kamarnya. Christine pun melempar selimutnya ke samping, turun dari tempat tidur, dan menyusulnya karena penasaran siapa gadis kecil itu.
Di dalam rumah, suasana tampak sangat gelap malam itu, bahkan lebih gelap dari hari kemarin. Hujan tidak turun malam itu dan bulan juga tidak tampak di langit. Christine hampir tidak bisa melihat apa-apa saat ia memandang ke bawa atau sekitarnya. Ia bahkan meraba-raba saat melangkahkan kaki ke depan. Tetapi, ia masih mendengar suara langkah kaki berjalan di dekatnya. Ia mengikuti kemana suara itu pergi hingga menuntunnya ke tangga.
Samar-samar, terlihat bayangan anak kecil sedang turun tangga. Ia terus mengikutinya perlahan dari belakang sambil mengernyitkan keningnya. Mereka melangkah ke lorong tengah dan melewati kamar mandi. Tiba-tiba, langkah Christine berhenti saat melihat siapa sosok gadis kecil yang sedang berjalan di depannya.
Cahaya lampu kamar mandi akhirnya mengungkap siapa sosok gadis yang sedari tadi ia buntuti hingga ke lorong tengah selama ini. Gadis cilik itu memakai baju tidur bermotif bunga matahari dengan rambut pirang yang panjang sampai ke bahunya. Ia melangkah sambil menyeret boneka beruang ungu. Melihat boneka itu, dengan spontan Christine berseru memanggil nama gadis cilik tersebut beberapa meter dari belakang.
“Violet!”
Violet terus melangkah tanpa menghiraukan Christine yang memanggilnya sedari tadi. Ia berjalan dan kemudian berbelok ke lorong buntu. Christine pun berjingkat dan lanjut membuntutinya lagi dari belakang. Ketika berbelok ke lorong buntu, tiba-tiba ia sudah tidak melihat Violet lagi. Ia pun lantas mulai gelisah dan tanpa ragu masuk ke lorong tersebut sampai ke ujung. Ia berhenti di depan jalan masuk ruang bawah tanah yang hanya dihalang oleh kotak-kotak kardus kosong. Ia mengambil lampu senter tua di dalam salah satu kotak kardus itu, lalu menyalakannya dan melangkah turun ke rubanah.
Ia tahu ruang itu sangat gelap, bahkan lampu senter bulat hanya mampu menyinari apa yang ada di depannya. Sesungguhnya, ia ragu Violet ada di ruang gelap tersebut, mengingat beberapa hari yang lalu, ia pernah terkunci di sana. Sembari melihat ke sekitar, ia memanggil namanya beberapa kali. Seketika, suhu udara di ruang itu berubah dingin, sedingin musim salju. Bau busuk pun hampir memenuhi ruang itu dan membuatnya mual. Ia makin gelisah berada di bawah sana. Namun, ia juga tidak mau pergi kalau Violet belum ketemu.
“Violet! Violet!” Suaranya berdengung di ruangan itu saat menyerukan nama adik perempuannya.
Duk! Duk! Duk!
Tiba-tiba, Christine tersentak mendengar seperti suara benda keras berbenturan ke besi, seolah seseorang yang sedang menempa besi. Langkahnya berenti dan tubuhnya lantas gemetar hebat. Embusan napasnya mulai terpengal-pengal. Sambil berusaha untuk tetap tenang, ia mencari sumber suara itu berasal. Senter juga diarahkan ke asal suara tersebut terdengar. Christine langsung terbelalak saat melihat Violet sedang membenturkan kepala pada pintu besi.
Ia pun buru-buru menghampirinya dan menangkap kepalanya yang hampir membentur pintu besi untuk ke sekian kalinya. Kedua mata yang masih tertutup rapat menyadarkannya bahwa Violet masih tertidur. Christine mengernyit dan terheran sebab ia tidak pernah melihatnya seperti ini.
“Ayo, kita kembali ke kamarmu, ya?” bisik lembut Christine ke telinganya. Violet berhenti membenturkan kepala dan perlahan berbalik badan. Perlahan-lahan, mereka pun keluar dari ruang bawah tanah tersebut.
Pagi berikutnya, Maddie tampak terkejut dan heran dengan memar di kepala Violet saat pertama kali melangkah masuk ke ruang makan. Maddie pun buru-buru menghampirinya.
“Violet,” ucapnya penuh khawatir. “Kepalamu kenapa, sayang?”
“Kenapa memangnya, Bu?” Violet balik bertanya dengan polos.
“Kenapa ada memar di kepalamu?” Maddie mengusapnya hati-hati dan merasakan ada benjolan kecil di dahinya. “Sakit, ya?”
“Tidak,” jawab Violet dengan ekpresi bingung sembari menatap Ibunya. Maddie mendesah sambil menyisir rambutnya. Namun, ia masih tetap cemas pada apa yang terjadi padanya.
“Kau membentur sesuatu semalam atau mungkin jatuh dari tempat tidurmu?” tanya Maddie saat Violet baru akan menggigit kue panekuknya.
Violet menatap Maddie dan menggelengkan kepalanya lagi. “Tidak, Bu. Aku masih ada di tempat tidur tadi. Tidurku juga pulas semalam.” Maddie mengangguk pelan sambil mengernyitkan alisnya.
Ting! Tong!
Bel pintu nyaring berbunyi bertepatan dengan Christine baru saja turun tangga dan beranjak ke ruang makan. Saat itu, baru pukul tujuh pagi. Tidak biasanya, mereka kedatangan tamu. Maddie berdiri dari kursinya dan bergegas ke pintu depan. Ia meraih gagang pintu dan membukanya.
Seorang wanita berkacamata yang tampak lebih tua darinya, berambut ikal kemerahan menjuntai panjang sebahu, sudah berdiri di depan pintunya dan tersenyum. “Hai, selamat pagi,” sapanya. Suaranya terdengar berat, namun lembut. “Maaf menganggumu pagi-pagi begini. Aku Lizzie Callaghan.” Ia menjulurkan tangan kanan ke depan, sementara tangan yang satu lagi berusaha mengimbangkan seloyang kue yang ditutup oleh kain putih. Aroma manis kue tersebut membuat Maddie tak henti meliriknya.