Namaku Alice

Sem Irviady Surya
Chapter #7

Mimpi

Rasa penasaran berpadu khawatir membuat Christine yang hanya berdiri di bawah tangga mulai gelisah. Suara tawa yang tadi didengarnya tiba-tiba lenyap beberapa saat kemudian dan hanya terdengar siulan halus desiran angin. “Violet!” Christine berseru. “Turun sekarang! Bahaya di atas sana!” Ia memperingatkannya. Namun, tetap tidak ada jawaban apa-apa. “Baiklah, aku akan ke atas sekarang!”

Pelan-pelan, ia mulai menaiki anak tangganya satu per satu. Setengah langkahnya masuk, tiba-tiba pintu di belakangnya terbanting keras dan ruang itu seketika gelap. Christine turun dan berlari ke pintu tersebut dan berusaha membukanya. Tetapi, pintu itu seolah terkunci dari luar. Ia mulai ketakutan dan berteriak. “Tolong! Siapa pun, tolong aku! Keluarkan aku dari sini! Ibu, kumohon tolong aku!” pekiknya sembari menggedor-gedor pintu tersebut berkali-kali. Namun, tidak ada yang mendengarnya menjerit di dalam ruang itu.

Christine masih menjerit hingga hampir pupus dan kehilangan banyak tenaga. Ia berhenti sejenak, sambil memikirkan jalan lain untuk keluar dari ruang tersebut saat tiba-tiba ada suara lain dari atas yang membuatnya tertegun. Suara itu milik gadis kecil, tetapi bukan tertawa. Jeritan itu terdengar seperti sedang dalam masalah. 

“Christine! Tolong aku!” rintih suara gadis cilik tersebut. Christine mendongak ke atas dan mengernyitkan alisnya. Ia menarik napas dan mengumpulkan tenaganya kembali, lalu bergegas kembali naik tangga sampai ke atas kamar itu.

“Christine, kumohon, tolong aku!” jerit suara itu memekik lagi.

“Violet, apa itu kau?” serunya. “Bertahanlah! Aku datang!”

Kamar itu tidak sepenuhnya gelap gulita, tetapi tidak terlalu terang juga. Satu-satunya sumber cahayanya berasal dari jendela kamar loteng. Udara terasa sedikit lebih dingin kali ini dibandingkan saat terakhir kali masuk ke sana. Tiba-tiba saja, kepalanya terasa berat. Pandangannya mulai buram dan kabur. “Ada apa denganku?” batinnya. Semakin ia melawan rasa pening dan berusaha keras mendapatkan fokusnya kembali, tubuhnya semakin lemas dan tersungkur ke lantai. 

Tap! Tap! Tap!

Tak lama, terdengar langkah kaki yang mendekat. Christine mendongak dalam pandangannya yang buram. Ia bisa melihat wujud seseorang yang sedang berdiri di depannya. Tangannya menjulur ke depan, berusaha menggapai wujud tersebut. “Violet?” ucapan terakhirnya saat itu.

Saat membuka mata, ia mulai melihat ke sekitar. Semuanya tampak asing. Tidak ada meja belajar, lemari pakaian atau bahkan jendela sama sekali. Ia sadar terbangun di suatu ruangan lain dan ruang itu tampak seperti sebuah penjara isolasi. Empat tembok putih mengelililnginya dan satu lampu gantung kecil yang bergoyang-goyang di tengah ruang tersebut jadi satu-satunya sumber cahaya Pintunya terbuat dari besi. Terdapat jendela mengintip kecil, tetapi tidak ada gagang di bagian dalam. Di ruang itu, hanya ada satu tempat tidur kecil, tempatnya terbaring lemas sekarang.

Saat berusaha terduduk tegak, ia melihat seorang gadis remaja dan gadis cilik sedang meringkuk ketakutan di dekat tempat tidur. Si gadis cilik sedang memegangi boneka beruang dan memeluknya erat. Boneka yang amat sangat Christine kenal. Mereka tampak sangat kacau. Baju tidur putih yang dikenakannya sudah kumal, kusut dan robek. Rambut mereka juga berantakan.

Tiba-tiba, si gadis remaja itu menoleh dan menatap Christine seolah ia tahu ada yang sedang mengawasinya. Ia berdiri dan tergesa-gesa menghampirinya. “Kau!” seru gadis itu. “Kau dikurung juga?” Suaranya terdengar sedikit lega. “Kumohon, kau harus menolong kita! Kita harus pergi dari sini sekarang!” 

Tak lama, gadis cilik yang membawa boneka beruang menyusul dan berdiri berjejer dengannya, menggandeng tangan si gadis remaja itu. Christine menatap kedua wajah mereka, terutama wajah gadis cilik tersebut. Ia melihat luka-luka baret di dahi, pipinya, dan luka gores pada pelipisnya. Bukan hanya itu, tangannya juga penuh memar dan luka pukulan benda keras. Christine bergidik memerhatikan semua itu dan tiba-tiba merasa seperti pernah bertemu dengan mereka.

Gadis remaja tersebut terus mendesaknya. Ia berlutut sambil memohon-mohon agar membantunya untuk keluar dari termpat itu. Tetapi, Christine masih linglung. Ia masih heran, kenapa dirinya bisa berada di ruang tersebut bersama dengan dua orang gadis asing yang tidak ia kenal? 

“Si … siapa kalian? Dimana aku?”

“Cepat! Kita tidak punya banyak waktu. Ayolah, Christine! Bantu aku cari cara keluar dari sini sebelum ia datang!” jawab gadis remaja itu yang kembali terdengar panik. Christine tertegun mendengar gadis di depannya tersebut menyebut namanya.

““Bagaimana … bagaimana kau tahu namaku?” tanya Christine, semakin dibuat bingung olehnya. “Dia? Siapa yang datang?”

Ceklek!

Terlambat!

Pintu besi berderit. Suara engselnya berseru nyaring di telinga dan sangat mengganggu. Pintu itu didorong dan membentur keras ke dinding, membuat Christine dan dua orang gadis di depannya tertegun dan bergidik. Seorang wanita berdiri di ambang pintu. Senyumnya menyeringai lebar dan tampak licik. Kedua tangannya menopang ikat pinggang kulit panjang berwarna cokelat. 

Wajah gadis cilik dan remaja tersebut langsung memucat. Mereka buru-buru merangkak mundur saat wanita itu melangkah maju, selangkah demi selangkah. Kain gaun pernikahan yang masih dikenakannya terseret di lantai saat wanita itu melangkah. Gaunnya penuh noda merah yang pekat dan wajah wanita itu tertutup oleh kerudung. Christine tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, tetapi ia sadar noda merah tersebut ialah darah segar.

Wanita itu melangkah semakin dekat menghampiri dua gadis yang sudah meringkuk ketakutan di sudut ruangan. Ia tidak menghiraukan Christine yang sedang mengawasinya sedari tadi. Ia itu hanya lewat di depannya yang terduduk di tempat tidur. Sesaat kemudian, ia menoleh padanya, mengangkat jari telunjuknya, dan menempelkannya ke bibir. Ia menyeringai dan berkata dengan lirih. “Ssshhh! Ini rahasia kita berdua.”

Seketika itu juga, ikat pinggang langsung mengayun dan tawanya seolah melengkapi kekejiannya pada kedua gadis-gadis malang itu. Ia mendaratkan ikat pinggang di kepala, tubuh dan tangan-tangan mereka tanpa ampun seperti seorang algojo hukuman mati. Isak tangis dan jerit mereka tidak mampu menghentikan pukulan yang berkali-kali mendarat dan meninggalkan bekas luka. Hanya meringkuk sambil menahan kesakitan di sudut ruangan yang bisa mereka lakukan.

Christine, yang hampir sadar sepenuhnya, tersontak kaget melihat kejadian tersebut. Dengan kepala masih sedikit terhuyung, ia berusaha bangkit dari tempat tidur dan menghampiri wanita bergaun pengantin tersebut. Tangannya berhasil menangkap satu tangan wanita tersebut yang memegang ikat pinggang yang siap untuk mengayunkannya lagi. Wanita itu menoleh kepadanya dan melotot, serta geram. Wajahnya sangat merah. Ia menarik tangannya dengan paksa dan mendorong Christine hingga terjatuh ke belakang, dekat tempat tidur. Lalu, ia berbalik badan dan mengarahkan ayunan ikat pinggang padanya sambil berteriak. 

“Dia yang memaksaku melakukannya!”

Christine menjerit kencang. Tangannya spontan melindungi kepalanya dari pukulan dari wanita tersebut. 

“Aahhh!” teriaknya ketika ia terbangun tiba-tiba di atas tempat tidur di kamarnya. Napas terpengal-pengal dan sekujur tubuh berkeringat. 

“Mimpi …” batinnya. “Syukulah, itu hanya mimpi buruk.”

“Oh, ya Tuhan! Kau sudah sadar!” seru Maddie saat ia berlari masuk ke kamarnya bersama dengan Violet. Christine menoleh dan menatap ibunya dengan bingung.

“Apa … apa yang terjadi, Bu?” ucap Christine.

“Tenanglah. Minum ini dulu.” Maddie menyudurkan segelas air putih kepadanya. Setelah beberapa tegukan, Christine kembali menatap ibunya dan bertanya lagi. 

“Kau pingsan di loteng, Tinny. Violet menemukanmu di sana dan langsung bilang pada ibu. Sedang apa sebenarnya kau di atas sana?” tanya ibunya. Christine terdiam dan berusaha mengingat apa yang terjadi. Namun, yang ia ingat hanya sedang mencari Violet di loteng.

“Baiklah,” jawab Maddie, meragukannya. “Kalau begitu, sebaiknya kau istirahat, Tinny. Ibu akan ada di luar jika kau butuh sesuatu, ya?” Ia berdiri dan melangkah keluar kamarnya. Sementara, Violet masih tetap berdiri di dekat tempat tidur. Matanya melotot kepada Christine.

“Sekarang, kau tahu apa yang telah terjadi pada mereka,” kata Violet, beberapa saat kemudian.

“Apa?” Alis Christine mengernyit. “Kau bilang apa?” Violet hanya diam.

Christine menggulir matanya ke kiri dan kini teringat lagi pada mimpi buruknya tadi. “Maksudmu, pada kedua gadis itu? Ba … bagaimana kau tahu?” Violet hanya terus menatapnya tanpa ekspresi di wajahnya. Christine menundukkan kepala sesaat dan bertanya lagi. “Wanita itu … siapa dia?” Namun, Violet tetap menutup mulutnya rapat-rapat, lalu menggulir bola matanya ke arah jendela kamar.

“Dialah pelakunya,” lirihnya terakhir sebelum ia melenggang pergi keluar kamarnya.

Hari Senin pagi, Maddie berhenti dan memarkirkan mobilnya di titik penjemputan sekolah. Ia memasukan perseneling parkir sebelum Violet membuka pintu buru-buru. Ia lantas lari menuju gedung sekolah. Saat Christine melepas sabuk pengaman dan baru saja akan turun dari mobil, lengannya ditangkap. “Tinny, tunggu dulu sebentar,” ucap Maddie. Christine kembali duduk di kursi mobil dan menutup pintunya.

“Ada apa, Bu?”

“Dengar, Hari ini Ibu tidak bisa menjemput kalian sepulang sekolah nanti. Ibu juga akan pulang terlambat. Tapi, Ibu sudah telepon Ny. Callaghan dan ia yang akan menjemput dan bersedia menjaga kalian hari ini di rumah.”

“Sudah kubilang, Bu! Kami tidak butuh pengasuh!” protes Christine.

“Tinny,” balas Maddie. “Dengar, Ibu tidak mau kejadian seperti semalam terulang lagi.” Maddie menggelengkan kepalanya pelan. “Jadi sebaiknya memang harus ada yang menjaga kalian berdua selama Ibu tidak di rumah.” Christine geram mendengarnya. Ia mendesah dan bersandar ke belakang. “Ibu mohon, mungkin hanya untuk hari ini. Turuti kata Ibu, ya. Tetap bersamanya sampai Ibu pulang. Oh, satu lagi. Cari saja mobil sedan warna merah. Itu mobilnya.”

Lihat selengkapnya