Namaku Alice

Sem Irviady Surya
Chapter #8

Namaku Alice

Kengerian dan keanehan yang terjadi semalam kini lenyap saat fajar menyingsing. Maddie dan putri-putrinya sudah bangun dan siap menjalani aktivitas pagi itu. Mereka duduk di meja makan dan menyantap sarapannya masing-masing. Tak lama, Christine menaruh sebuah kotak yang terbungkus kertas kado dan menyodorkannya pada Maddie. “Ini,” ucapnya. “Ibu meninggalkannya di kamarku.” Namun, Maddie mendorong balik kotak tersebut ke arahnya.

“Itu untukmu, Tinny. Bukalah dan selamat ulang tahun,” jawabnya sambil tersenyum.

“Ulang tahun?” Christine tertegun. Maddie mengangguk pelan padanya.

“Iya, sayang. Ini ‘kan hari ulang tahunmu. Kau lupa, ya?”

“Tapi, Bu, hari ulang tahunku sudah lewat dua bulan yang lalu,” jawab Christine, yang kini benar-benar tampak bingung. Maddie berhenti memotong kue panekuknya dan menatap langsung ke mata cokelat Christine. Ia terkekeh kecil mendengar pernyataan itu.

“Jangan konyol, Tinny. Ibu yang melahirkanmu dan hari ini memang ulang tahunmu. Sekarang, buka kotak kado itu dan lihat apa yang kau dapat. Ibu sarankan cepat buka karena kau sudah hampir terlambat ke sekolah.”

Dengan masih terheran-heran, Christine mengambil dan mencabik-cabik bungkus kado tersebut, lalu membuka tutup kotaknya. Tiba-tiba, matanya terbelalak saat ia melihat isi kotak tersebut. Refleks, ia lantas melempar kotak itu ke meja dengan mulut menganga dan wajah yang berangsur pucat. Reaksinya sama persis seperti saat ia menemukan dua karung lusuh berisi tengkorak manusia di rumah pohon. Maddie juga terkejut dan mengernyit heran melihat sikapnya yang mendadak jadi aneh.

“Apa-apaan ini, Bu?” Christine memekik. Ia tidak bisa melepas pandangannya dari sebuah pisau dapur yang terbalut oleh kain dan terhias pita di bagian gagangnya dalam kotak tersebut.

“Ada apa, Tinny?” tanya Maddie, bingung. “Kau seolah-olah seperti melihat hantu. Padahal Ibu hanya memberimu ponsel lama milik ibu.”

“Ponsel? Apa Ibu tidak lihat?” ketus Christine. “Ini pisau dapur, Bu! Kenapa Ibu memberiku pisau dapur ini?” Christine tidak berhenti menatap mata Maddie dengan penuh heran sembari menunggu penjelasan darinya. Lalu, ia menoleh pada Violet yang duduk di sampingnya dan sedang santai menyantap kue panekuknya. Reaksinya sama sekali datar terhadap kepanikan dan ketakutan kakaknya. “Ini semua sangat aneh! Aku muak tinggal dengan kalian! Aku akan pergi dari sini!”

“Christine!” Maddie membentaknya ketika Christine lancang bicara seperti itu.

Ketika hendak beranjak dari kursinya, tiba-tiba ada tangan yang menangkap lengannya. Tangannya itu terasa sedingin es dan sepucat orang yang sudah mati, mencengkeramnya dengan kuat. Ia mendongak dan menatap pemilik tangan pucat tersebut. Tersontak kaget dirinya saat melihat wajah gadis cilik yang duduk di kursi Violet yang penuh dengan luka.

Jantungnya kini berdegup sangat kencang dalam dadanya. Semua bulu kuduknya merinding, kaki dan tangannya gemetar. Ia terdiam membisu ketika menyadari siapa gadis kecil di hadapannya. Tidak ada keraguan lagi bahwa ia gadis cilik yang ada dalam mimpinya.

“Selamat ulang tahun, Christine,” ucapnya dengan suara yang lembut dan manis. Alih-alih terdengar menyenangkan, justru ucapannya malah membuat Christine semakin bergidik.

“Tinggalkan aku sendiri!” pekik Christine dan menarik lengannya. Kakinya melangkah mundur dua langkah dari meja makan dan matanya terus melotot pada gadis cilik tersebut.

Maddie melihat tingkahnya dan benar-benar heran dengan sikapnya saat melihat Violet. Ia berdiri dari kursinya dan melangkah mendekat. “Christine, tenanglah, Nak.” Christine semakin menjauhi mereka berdua dan buru-buru lari keluar dari rumah.

“Christine, Christine!” teriak Maddie memanggilnya sembari berusaha menyusulnya. Namun, Christine sudah lari ke ujung jalan, menunggu bus sekolah.

Ketika jam sekolah telah selesai hari itu, Christine dan Violet beranjak keluar dari gedung sekolah. Sama seperti kemarin, Lizzie sudah menunggu mereka di tempat penjemputan. Tetapi, ia tampak aneh hari itu saat mereka berdua menghampirinya. Tidak ada senyum memekar di wajahnya atau sapaan manis untuk mereka. Ia hanya menatap tajam pada dua orang gadis yang ada di depannya.

Lihat selengkapnya