Namaku Alice

Sem Irviady Surya
Chapter #9

"Dia yang membunuhku!"

Mulut Christine ternganga menatap gadis cilik tersebut. Seluruh bulu kuduknya bergidik. Ia ingin menjerit kencang, tetapi mulutnya tak mau terbuka, terasa seperti dilem. Matanya pun tak bisa berpaling dari gadis cilik tersebut. Ia masih tidak percaya bahwa ia melihat gadis kecil yang sama seperti yang dilihatnya tadi pagi dan dalam mimpinya. Sembari melangkah mundur keluar dari kamar, ia membanting pintu dan bersandar dari di pintu itu. Napasnya terpengal-pengal. Alice, ia mendengar gadis itu menyebut namanya sendiri. Nama yang kembali menghantui lagi.

Beberapa saat kemudian sembari menenangkan diri, Christine mendengar ada yang membuka pintu, lalu dibanting, dari lantai satu. Ia mendekat ke pagar balkon lantai dua. Kedua alisnya tersentak ketika melihat Lizzie, dengan jaket dan sarung tangan hitam, melintas di ruang depan sambil menggotong satu karung besar di pundaknya.

Seketika, Christine bertanya-tanya, untuk apa ia membawa karung tersebut ke dalam rumahnya? Lalu, ia tergesa-gesa turun ke lantai satu. Ketika sampai di lantai satu, ia memanggilnya, bermaksud untuk membantu dan mencari tahu isi karung yang sedang digotongnya. “Nyonya Callaghan!” 

Langkah Lizzie tiba-tiba berhenti dan ia terpaku mendengar suaranya. Mata mereka pun saling memandang. Terlihat samar-samar, keringat dingin seolah tampak mengucur dari dahinya. Pupilnya membesar seolah ia terkejut bertemu dengannya.

“Apa yang sedang nyonya bawa? Perlu kubantu?” tanya Christine. Lizzie mulai tampak gelisah. Senyumnya melebar dan dilontar padanya sesaat kemudian, namun terkesan linglung.

“Oh, ti … tidak,” jawab Lizzie terbatah-batah sembari menggotong karung yang merosot kembali ke pundaknya. “Tidak perlu, terima kasih. Aku bisa membawanya sendiri. Kukira, kau sudah tidur.”

“Aku tidak …” Tiba-tiba, Christine berhenti bicara saat tak sengaja bola matanya melihat tetesan air berwarna merah yang merembas pada karung itu tanpa disadari Lizzie. Hidungnya mengernyit saat bau anyir kemudian samar-samar tercium olehnya. “… aku tidak bisa tidur.” Ia melirik tetesan air yang kian lama semakin sering menetes dari karung itu. Lalu, ia menggulirkan bola matanya dengan cepat ke arah Lizzie.

“Kalau begitu, tidurlah sekarang. Aku khawatir kau akan terlambat besok dan kau tak perlu khawatirkan aku. Ini tidak berat seperti kelihatannya,” jawab Lizzie. Cepat-cepat, ia lanjut melenggang pergi. Namun ketika hendak menuju lorong tengah, Christine berhasil membuatnya mendadak berhenti melangkah lagi.

“Apa isi karung itu?” 

Lizzie pun berbalik badan dan berdeham. “Oh, ini hanya batang-batang kayu yang kutemukan di depan rumah kalian. Sepertinya hujan kemarin cukup lebat sampai meniup batang-batang ini ke jalanan, ya ‘kan? Aku akan membuangnya ke hutan di halaman belakang kalau kau tidak keberatan,” jawabnya. Kemudian, ia melangkah terburu-buru menuju lorong lagi.

“Pintu belakang lewat ruang makan, nyonya,” sahut Christine lagi beberapa meter dari belakangnya. Lizzie berbalik badan dan sedikit mengangguk padanya.

“Oh, ya. Aku tahu tapi ada yang harus kuambil dulu di garasi mobil,” singkatnya. Seketika, Christine merasakan aneh dengan gelagatnya seolah ada yang sedang disembunyikannya, ditambah ia juga penasaran dengan isi karung yang dibawa olehnya.

Sesaat kemudian, Christine tidak sengaja menunduk ke bawah dan melihat noda cairan merah di dekat tangga. Ia pun berjongkok dan menyeka noda tersebut dengan telunjuknya. Noda cairan tersebut terasa sedikit lengket dan amis, tidak seperti air. Seketika, Christine tertegun saat ia menyadari bahwa itu bukanlah tetesan air, tetapi setetes darah segar saat ia melihat tetesan tersebut tersebar di lantai menuju lorong tengah. Karena penasaran, ia mengikuti tetes-tetesan tersebut yang memandunya hingga ke tangga ruang bawah tanah.

Ruang yang seharusnya gelap gulita itu tiba-tiba saja jadi terang dengan adanya cahaya yang tak begitu terang berasal dari bawah. Christine tahu betul tidak ada lampu yang masih berfungsi di ruang tersebut. Ia juga mendengar suara gaduh dan suara langkah kaki. Rasa penasaran semakin membuatnya gelisah sampai tak sadar bahwa ia sudah berada di tengah tangga. Ia mengintip dari balik celah di tangga. Matanya lantas melotot dan mulutnya menganga sewaktu melihat seorang wanita berdiri di depan pintu besi. Ia mengenali pintu besi itu seperti ia mengenali wanita berjaket kulit dan memakai sarung tangan serba hitam. Ia yakin itu bukanlah seorang penyusup, melainkan wanita yang baru saja berbincang dengannya di ruang depan.

Lizzie berdiri di depan pintu itu sambil merogoh ke kantung belakang celana jins-nya. Tanpa disengaja, ia menjatuhkan karung lusuh yang digotongnya saat ia berhasil mengeluarkan sebuah anak kunci perak yang agak besar dan berkarat. Christine terkejut saat mengenali kunci tersebut dan bertanya-tanya, darimana wanita itu mendapatkannya? 

Sesaat kemudian, bunyi klik terdengar di pintu tersebut saat Lizzie membuka pintu besi tersebut. Lalu, ia melepas jaketnya dan melemparnya ke meja mayat di dekatnya. Dengan susah payah, ia menarik karung tersebut ke dalam ruang di balik pintu besi itu. Christine pun tertegun dan merinding saat tiba-tiba ia melihat jejak garis darah segar terlukis di lantai seperti dalam adegan di film pembunuhan. Ia masih bisa mengintip ke dalam pintu besi itu dan melihat Lizzie merobek paksa karung tersebut, lalu mengeluarkan isi dari karung itu.

“Astaga!” Christine tersontak kaget saat melihat isi dibalik karung tersebut. Ia hampir berteriak kencang, tetapi berhasil cepat-cepat menutup mulutnya, berharap Lizzie tidak mendengarnya. Napasnya terpengal-pengal dan seketika sangat mual saat ternyata isi karung tersebut adalah tubuh seorang lelaki yang sudah bermandikan darah. Ia tidak mengenal siapa mayat laki-laki itu, tetapi ia melihat rambutnya yang putih, yang kini sudah bernoda darah, dan wajahnya yang keriput dipenuh dengan sayatan luka benda tajam. Saat Lizzie menarik setengah mayat itu keluar dari karung, darah langsung mengalir dari tubuhnya dan langsung membanjiri lantai di dalam ruangan itu.

Lizzie tidak menghiraukan ceceran darah itu. Ia tampak terlihat sibuk berusaha memposisikan mayat pria itu sebelum ia melepasnya dari karung. Lagi-lagi, ia tampak kewalahan menarik dan memposisikan mayat tersebut sesuai keinginannya. Ketika akhirnya sudah sesuai, ia pun beranjak ke salah satu meja di sana dan mengambil sebuah pisau daging besar. Ia masuk kembali ke dalam ruang di balik pintu besi itu untuk waktu yang cukup lama. Beberapa lama kemudian, ia keluar, tetapi pakaiannya kini dipenuh dengan darah. Lalu, ia mengunci pintu besinya dan membereskan sisa-sisa darah yang tersebar di lantai.

Bau formalin bercampur dengan bau pembersih lantai mulai memenuhi rubanah dan sangat menyengat hidung Christine. Di saat itulah, ia memutuskan untuk segera keluar dari ruang bawah tanah tersebut.

Krak! Gubrak!

“Aah!” teriaknya kencang. Salah satu kayu anak tangga yang dipijaknya patah. Kakinya terperosok ke dalamnya dan tersangkut. Apa daya, jeritnya membuat Lizzie kaget dan menoleh cepat ke arah tangga. Dengan cepat, pisau daging berlumur darah yang dipegangnya lantas diremas erat-erat saat ia melihat sepasang sepatu di tangga yang berusaha lepas dari jeratan kayu anak tangga yang patah. Lizzie pun menyadari siapa pemilik sepatu itu. Pelan-pelan, ia menggeletakkan kembali pisau yang digenggamnya, mengenakan jaket hitam dan sarung tangannya, lalu mengejarnya.

Christine berhasil melepas kakinya dari patahan kayu yang merangkapnya dan buru-buru keluar dari rubanah sebelum Lizzie menangkapnya. Sesampainya di lorong tengah, ia terpengal-pengal dan panik mencari tempat sembunyi. Suara hentakan kaki kini mulai terdengar dan semakin mendekat dari belakang. Sembari menahan sakit pada kaki kirinya yang terkilir, ia masuk ke kamar mandi. Ia menutup pintu kamar mandi masuk ke bak, menutup tirainya dan meringkuk sambil berusaha membungkam mulutnya dengan kedua tangannya.

Desah napasnya terlalu cepat. Ia bisa mendengar suara gaduh embusan udara yang keluar dan merasakan air mata yang mengalir ke pipinya. Ia tahu kamar mandi bukan tempat sembunyi yang tepat di saat genting seperti ini, tetapi mungkin kamar mandi kecil itu malah bisa mengecoh orang yang sedang mengejarnya dan berharap tidak ada yang mengira bahwa ia bersembunyi di sana.

Lihat selengkapnya