Namaku Alice

Sem Irviady Surya
Chapter #10

Lizzie Callaghan

Ketika malam hampir tiba, Christine akhirnya tersadar. Badannya masih lemas. Kaki dan tangannya masih kaku karena pengaruh obat bius. Lampu gantung di atas kepalanya mengayun dari kanan ke kiri dan sebaliknya. Itu benda yang pertama kali dilihatnya saat tersadar. Cahaya kuningnya sangat terang dan hampir membutakan matanya. Panas yang terpijar terasa membakar wajahnya.

Ia mencoba menggerakan kaki dan tangannya, tetapi sia-sia. Lalu, ia berusaha melihat ke sekitarnya. Lantas, kepanikan dan ketakutan muncul saat ia menyadari dirinya terikat pada meja otopsi mayat. “Tolong!” jeritnya. Suaranya tak selantang biasanya, malah terdengar seperti serak dan sangat lemah. “Tolong aku! Keluarkan aku dari sini!”

Ia menggeliat, menarik tangan dan kakinya yang berangsur-angsur mulai bertenaga kembali, agar terbebas dari tali yang mengikatnya ke kaki meja itu. Beberapa menit kemudian, ia berhenti menggeliat. Bola matanya sesekali menatap lampu di atas kepalanya sembari berpikir bagaimana caranya agar lepas dari tali itu. Ia menarik napas dalam dan membuangnya lewat mulut beberapa kali untuk menenangkan diri, tetapi jantungnya terus berdebar-debar.

Lalu, ia celingukan lagi, berharap dapat menemukan benda yang dapat memotong tali yang mengikatnya. Di sisi kiri, ada sebuah lemari kayu dengan toples-toples kaca berjajar dan berdebu. Ia tidak bisa melihat apa yang ada di dalam toples tersebut. Tetapi, ia bisa mencium bau menyengat seperti obat bius yang dipakai Lizzie sewaktu ia membiusnya. Di sampingnya, dekat dengan pintu besi, terdapat sebuah bak kecil tempat cuci. Ia melihat sebuah pisau kecil di atas meja tersebut, tetapi meja itu terlalu jauh untuk dijangkaunya. Saat mendongak, ada tangga turun dan di antara kakinya, ia melihat pintu besi. Seketika, ia kini tersadar bahwa dirinya disekap di ruang bawah tanah.

TAP, TAP, TAP! 

Suara langkah kaki menghentak dari arah tangga. Christine kembali menggeliat sembari menjerit ketika mendengarnya. “Siapa itu? Tolong … tolong aku! Kumohon, aku disekap! Cari ban ….” Bicaranya terpenggal bersamaan dengan suara langkah kaki yang berhenti dan berpijak di lantai rubanah. Matanya terbelalak dan jantungnya seolah akan meledak.

“Christine, Christine, Christine. Gadis lugu yang malang,” sahut seorang wanita. Seketika, suara itu membuat Christine geram, sebab ia mengenalinya. Wanita itu terkekeh sembari mendekat pada Christine. Lampu pijar kini mengungkap rupa wanita tersebut. “Biar kuberi tahu, tidak ada yang bisa menolongmu, Tinny. Karena kau anak yang nakal dan suka mencampuri urusan orang lain. Anak nakal harus dihukum, bukan begitu?”

“Lepaskan aku, Lizzie!” Amarahnya meluap-luap saat Christine menatapnya. Ia terus menggeliat, menguncangkan mejanya hingga beberapa botol dan barang lain dari rak meja itu berjatuhan.

“Ssshh … sshh … tenang,” jawabnya sembari memegang tubuhnya. Lalu, ia menarik pisau dapur dari belakang celananya. Benda mengkilap dan tajam itu membuat Christine kaget dan langsung panik.

“Kumohon, jangan! Jangan bunuh aku! Aku tidak akan beritahu siapa-siapa!”

“Tidak, tidak, tidak. Kau pikir aku orang seperti apa? Aku takkan tega menyakitimu seperti itu.” Lizzie beranjak ke bak tempat cuci dan meletakkan pisau tersebut di atasnya. “Kau tahu, seharusnya rencanaku berjalan dengan sempurna kemarin. Aku menghabiskan dua minggu menyusunnya. Aku tidak punya rencana untuk membunuh siapa-siapa kecuali ayahku sendiri karena dia brengsek. Tapi, selalu saja ada pengganggu yang ikut campur urusanku,” ucapnya sembari meraih sebuah batu dan mulai menggesek-gesekkan pisaunya.

“Kau mau apakan aku?” jeritnya. Ia semakin panik melihat Lizzie mengasah pisau itu bolak-balik.

“Aku belum selesai bicara! Tolong, jangan menyela!” jawab Lizzie dengan tegas. “Aku memang akan membunuhmu pada akhirnya. Tidak ada cara lain, tapi tidak dengan cara yang kau kira. Caraku akan sedikit lebih baik.” 

“Kau tidak akan bisa menghindar dari semua ini!” 

“Benarkah? Lalu, siapa yang terikat di meja itu sekarang?” jawab Lizzie. “Sudah kuduga. Kau pikir, kenapa aku menyekapmu di ruang bawah tanah kotor ini? Karena tidak akan ada yang bisa menemukan kita di sini. Tidak akan ada yang bisa mendengarmu menjerit juga. Aku bisa menikmati waktuku untuk menyiksamu. Kurasa, kau akan tahu bagaimana aku akan lolos dari semua ini, bukan?”

Sesekali, ia memeriksa pisau yang sedang diasahnya, menerka-nerka apakah sudah cukup tajam. “Aku tahu, kemarin kau melihatku di sini dan bersembunyi di kamar mandi. Anak tangga yang patah dan cara berjalanmu ke ruang depan itu buktinya. Seharusnya, aku sudah membunuhmu kemarin, tetapi sekali lagi itu bukan caraku.”

Lizzie menaruh pisaunya di ujung meja cuci dan beranjak ke depan lemari toples-toples. Sembari melihat gerak-geriknya, Christine berusaha untuk tetap tenang, tetapi diam-diam tak berhenti menggeliat.

“Kumohon! Lepaskan aku saja!” Air matanya Christine mulai menetes. Usahanya untuk melepaskan diri sia-sia.

Lihat selengkapnya