Pagi itu, Cinta duduk sendirian di meja makan, menatap teh yang sudah mulai dingin di hadapannya. Biasanya, pagi-pagi seperti ini akan dimulai dengan tawa dan obrolan ringan bersama Bowo. Namun, belakangan ini, kehangatan yang dulu mengisi rumah mereka perlahan-lahan mulai memudar. Sudah beberapa minggu, Bowo sering pulang terlambat, dan ketika dia pulang, dia tampak lelah dan lebih banyak diam. Cinta mencoba mengerti—mungkin beban pekerjaannya yang semakin berat—tapi di dalam hatinya, ia merasakan ada yang berubah.
Cinta memandang cangkir teh yang belum disentuh oleh Bowo. Dia tahu, biasanya suaminya akan menyelesaikan teh itu dengan cepat sambil sesekali bercanda atau berbicara tentang rencana-rencana hari mereka. Namun, kini Bowo lebih sering terburu-buru meninggalkan rumah tanpa banyak kata. Cinta mendesah, menahan kegelisahan yang semakin lama semakin sulit disembunyikan.
Pintu kamar terdengar terbuka, dan Bowo muncul dengan langkah pelan. Matanya sedikit sembab, mungkin karena kurang tidur. Ia langsung menuju dapur, membuka lemari es, dan mengambil segelas air dingin. Cinta menatapnya dari tempat duduknya, berusaha menangkap perhatian suaminya. Namun, Bowo hanya melemparkan senyum tipis tanpa kata.
“Tehmu sudah dingin,” ujar Cinta, mencoba membuka pembicaraan.
Bowo hanya mengangguk. “Aku nggak sempat minum pagi ini. Mungkin nanti di kantor saja.”
Cinta mengerutkan kening, “Kamu kelihatan sangat lelah akhir-akhir ini, Bowo. Apa ada masalah di kantor?”
Bowo menelan ludah, kemudian menutup lemari es dengan suara sedikit keras. “Enggak, cuma kerjaan yang semakin banyak. Itu saja,” jawabnya singkat.
Jawaban itu tak memuaskan Cinta. Ia tahu Bowo, pria yang biasanya terbuka tentang segala hal, kini mulai menutup diri. Namun, Cinta berusaha memahami. Mungkin ini hanya fase, mungkin Bowo sedang merasa tertekan dengan pekerjaannya.
“Kamu mau aku masakin sesuatu yang spesial malam ini? Aku bisa buatkan ayam goreng kesukaanmu,” tawar Cinta dengan lembut, berharap sedikit perhatian itu bisa membuat Bowo merasa lebih baik.
Bowo hanya mengangkat bahu. “Nggak usah repot, Cinta. Aku mungkin pulang telat lagi nanti. Ada beberapa laporan yang harus aku selesaikan.”
Kata-kata Bowo seperti palu yang menghantam hati Cinta. Sejak kapan Bowo begitu jarang pulang tepat waktu? Padahal, dulu, dia selalu bersemangat pulang ke rumah untuk menghabiskan waktu bersama. Cinta merasakan perubahan itu semakin nyata, tetapi ia menahan diri untuk tidak bertanya lebih jauh.