Setelah kehilangan anak yang ia kandung, hidup Cinta terasa seolah jatuh ke dalam jurang gelap yang tak berujung. Hari-harinya yang dulu penuh harapan dan kebahagiaan kini berubah menjadi serangkaian momen yang hampa. Kehilangan itu terasa menghancurkan, menyisakan perasaan bersalah yang begitu berat di dadanya. Meskipun secara fisik tubuhnya mulai pulih, luka di hatinya jauh lebih dalam, membekas di setiap sudut pikirannya. Depresi mulai merayap masuk, mengubah Cinta menjadi seseorang yang nyaris tak dikenali.
Cinta selalu memikirkan kecelakaan sore itu. Dia terus bertanya-tanya, apakah keguguran itu adalah kesalahannya? Apakah dia tidak cukup menjaga kehamilannya? Seharusnya dia menolak ketika Bowo mengajaknya naik motor, seharusnya dia lebih waspada, seharusnya… Pikiran-pikiran itu selalu berputar di dalam kepalanya, seperti lingkaran yang tak pernah ada ujungnya. Cinta merasa bersalah atas kematian bayi yang bahkan belum sempat dia lihat, belum sempat dia beri nama.
Malam-malam yang Cinta lalui selalu diwarnai tangis. Sering kali, setelah Bowo tertidur di sampingnya, Cinta akan bangkit dari tempat tidur, berjalan ke kamar bayi yang belum sempat diisi. Ruangan itu seharusnya dipenuhi dengan suara tawa dan tangisan bayi, tapi yang ada hanya sunyi, hampa, dan dingin. Setiap kali dia memasuki ruangan itu, air matanya tak terbendung lagi. Dia berdiri di sana, menatap dinding-dinding kosong, membayangkan bagaimana seharusnya kehidupan mereka jika semuanya berjalan sesuai rencana.
Depresi Cinta semakin parah ketika dia menyadari bahwa Bowo, yang seharusnya menjadi tempatnya bersandar, malah semakin menjauh. Awalnya, Bowo masih berusaha menghibur, mencoba menenangkan dengan kata-kata lembut dan pelukan hangat. Namun seiring berjalannya waktu, Bowo mulai semakin pendiam. Dia semakin jarang bicara, dan ketika bicara, hanya obrolan ringan yang tak menyentuh perasaan Cinta yang sedang terpuruk. Rasanya seolah Bowo tak lagi mau menghadapi kenyataan pahit yang mereka alami bersama.
Cinta butuh dukungan, tapi Bowo tidak hadir. Ia semakin sering menghabiskan waktu di luar rumah, pulang larut malam dengan alasan pekerjaan. Cinta tahu bahwa suaminya juga merasakan kehilangan, tapi ketidakmampuan mereka untuk saling berbagi rasa sakit justru membuat jarak di antara mereka semakin jauh. Mereka menjadi seperti dua orang asing yang tinggal di bawah satu atap, saling menghindar dari percakapan yang sebenarnya perlu dilakukan.
Di rumah, Cinta merasa sendirian. Setiap kali Bowo pulang, mereka hanya bertukar beberapa kalimat singkat sebelum Bowo masuk ke kamar dan tertidur. Tak ada lagi obrolan panjang seperti dulu, tak ada lagi tawa atau canda yang biasa mereka bagikan. Bahkan ketika Cinta menangis di malam hari, Bowo hanya diam di sisinya, tak tahu harus berkata apa. Mungkin dia sudah terlalu lelah dengan rasa sakit mereka sendiri-sendiri, mungkin dia memilih untuk menahan perasaannya dengan caranya sendiri.
Suatu malam, setelah hari yang panjang dan penuh kepedihan, Cinta memberanikan diri untuk berbicara. Ia duduk di samping Bowo, yang saat itu sedang sibuk menatap layar ponselnya. Cinta mengambil napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk menyuarakan perasaannya.
“Bowo, kita harus bicara,” katanya perlahan, suaranya bergetar.