Hari itu, pagi yang cerah di Yogyakarta seolah tak sejalan dengan suasana hati Cinta. Dia duduk di tepi ranjang, memandang ke luar jendela, merasakan sinar matahari yang hangat, tapi tidak mampu menembus kegelapan yang menyelubungi hatinya. Kehidupan di sekitarnya berjalan seperti biasa, tetapi bagi Cinta, semua tampak buram dan tidak berarti.
Ketika Bowo pulang malam sebelumnya, Cinta merasakan ada yang berbeda. Dia menanti-nanti saat ketika Bowo akan mengulurkan tangannya, memeluknya, atau sekadar mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, malam itu, mereka hanya berbincang sebentar sebelum Bowo mengalihkan perhatian pada ponselnya, seolah menemukan kenyamanan di dalam layar yang dingin dan tidak berperasaan. Cinta merasa hampa, dan ketika Bowo beranjak tidur, kesedihan menyergapnya seperti gelombang yang tak tertahan.
Hari berikutnya, Bowo menyampaikan keputusan yang mengejutkan. Dia memutuskan untuk pergi ke Kalimantan dan menetap beberapa tahun di sana, tempat yang baru saja dia ceritakan sebagai kesempatan kerja yang lebih baik. Cinta terkejut mendengar kabar itu. “Apa? Kau serius?” tanyanya, suaranya bergetar menahan emosi. “Kau ingin pergi jauh dari sini?”
Bowo menunduk, tampak bingung. “Cinta, ini untuk masa depan kita. Aku harus bekerja lebih keras untuk bisa memberikan yang terbaik. Di Kalimantan, ada peluang yang lebih besar.”
“Jadi, kau pergi begitu saja? Tanpa berpikir tentang apa yang aku rasakan? Tentang kita?” Cinta berusaha menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. Rasa sakit di dalam dadanya semakin mendalam. Seakan satu lagi bagian dari dirinya yang akan hilang.
“Cinta, aku… aku tidak ingin kita terus-menerus berada dalam keadaan ini. Mungkin ini yang terbaik. Jarak bisa memberikan kita waktu untuk berpikir.” Suara Bowo terdengar tegas, tetapi Cinta dapat merasakan keraguan di balik kata-katanya.
Cinta merasa seperti ditikam dengan kata-kata itu. Jarak? Apakah jarak akan memperbaiki semua yang telah hancur? Apakah ini solusi untuk masalah mereka? “Tapi aku tidak ingin kehilanganmu, Bowo,” katanya pelan. “Aku merasa kita sudah kehilangan cukup banyak.”
Bowo menarik napas panjang, lalu memegang tangan Cinta dengan lembut. “Aku juga tidak ingin kehilanganmu, Cinta. Tapi kita harus mencoba sesuatu yang baru. Aku akan terus menghubungimu. Kita bisa berbicara setiap malam, menjadwalkan waktu untuk video call.”
Cinta menatap wajah Bowo, melihat betapa seriusnya ekspresi diwajahnya. Dia ingin percaya bahwa semua ini adalah demi kebaikan mereka. Dia ingin berusaha memahami keputusan Bowo, tetapi rasa sakit yang ada di dalam hati ini sulit untuk diabaikan.
Hari-hari berlalu, dan persiapan keberangkatan Bowo semakin mendekat. Cinta berusaha menunjukkan dukungannya dengan membantu mengemas barang-barang Bowo, tetapi setiap kali dia melihat pakaian Bowo dimasukkan ke dalam koper, hati Cinta terasa semakin berat. Dia merasa seolah sedang mengemas seluruh kenangan indah yang mereka miliki, kenangan yang saat ini terasa seperti bayangan yang semakin memudar.
Saat malam sebelum keberangkatan, mereka duduk bersebelahan di sofa, mencoba menciptakan momen-momen yang seharusnya indah, meskipun semuanya terasa sangat berbeda. Cinta mencoba tersenyum, tetapi senyumnya tidak sepenuhnya tulus. Dia merasakan kekosongan yang dalam, seolah ada sesuatu yang hilang dan takkan pernah kembali.
“Aku akan meneleponmu setiap malam,” kata Bowo, merangkul Cinta. “Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja.”
“Ya, aku akan menunggumu,” jawab Cinta, suaranya hampir seperti bisikan. Dia ingin percaya, tetapi ada keraguan yang mengganjal. Akankah Bowo tetap berkomunikasi dengannya? Akankah jarak ini benar-benar memberikan mereka waktu untuk memperbaiki hubungan?
Keberangkatan Bowo tiba. Cinta berdiri di depan bandara, mencoba menguatkan diri meski jiwanya terasa tertekan. Dia melihat Bowo dengan koper di tangan, mengenakan kaos dan celana jeans favoritnya, tampak gagah meskipun aura kesedihan melingkupi mereka berdua. Cinta tidak bisa menahan air matanya ketika saat-saat perpisahan itu semakin dekat.
“Cinta, aku akan baik-baik saja. Kau juga harus menjaga dirimu,” kata Bowo sambil memandang Cinta dalam-dalam. “Aku mencintaimu.”
Cinta meneguk ludah, berusaha menahan tangis. “Aku mencintaimu juga, Bowo. Semoga semua ini berjalan baik.”
Bowo mengangguk, lalu mereka saling berpelukan. Pelukan itu terasa hangat, tetapi juga penuh kesedihan. Cinta berharap waktu bisa berhenti, agar mereka bisa terus berada dalam pelukan itu selamanya. Tapi kenyataan tidak bisa dihindari, dan saatnya telah tiba. Bowo melangkah mundur, melepaskan pelukan, dan melangkah menuju pintu keberangkatan.
Saat Bowo menghilang dari pandangan, Cinta merasa dunia di sekelilingnya bergetar. Dia berdiri di sana, di tengah keramaian orang-orang yang berlalu-lalang, tetapi seolah menjadi satu-satunya yang terjebak dalam kesedihan. Jarak itu terasa sangat nyata, dan ketidakpastian yang menyertainya membuat hatinya bergetar.
Hari-hari setelah keberangkatan Bowo terasa hampa. Cinta berusaha untuk tetap positif, meyakinkan dirinya bahwa jarak ini mungkin bisa memperbaiki keadaan. Mereka masih bisa berkomunikasi, berbagi cerita tentang kehidupan sehari-hari, dan saling memberi semangat. Namun, setiap kali Cinta menanti pesan atau panggilan dari Bowo, rasa cemas semakin menggerogoti jiwanya. Apakah Bowo benar-benar merindukannya? Apakah dia juga merasa sepi seperti Cinta?
Malam pertama setelah keputusan menetap di Kalimantan tanpa Bowo, Cinta berbaring di tempat tidur dengan perasaan tidak nyaman. Dia memandang ke langit-langit kamar, mencari bintang-bintang yang biasanya memberi harapan. Dalam kesunyian, suara deru angin di luar rumah terasa mengingatkannya pada suara Bowo yang biasanya mengisi malam-malamnya. Ketika ponselnya bergetar, hatinya berdebar penuh harap, tetapi ketika melihat nama Bowo di layar, dia terpaksa menekan tombol untuk menjawab.