Cinta Putri Amelia menatap layar ponselnya dengan harapan. Beberapa bulan telah berlalu sejak Bowo pergi ke Kalimantan, dan meskipun harapannya untuk menjaga komunikasi tetap kuat, kenyataan menunjukkan sebaliknya. Setiap pagi, dia akan bangun dengan harapan bahwa Bowo telah mengirimkan pesan untuknya, namun kenyataan sering kali mengkhianati harapan itu.
Pagi itu, setelah memandangi layar ponselnya selama beberapa menit, Cinta memutuskan untuk mengirimkan pesan lagi. “Selamat pagi, Bowo. Aku harap kamu baik-baik saja di sana.” Dia menekan tombol kirim, berharap kali ini Bowo akan membalasnya.
Namun, jawaban yang dinanti-nanti tidak kunjung datang. Hari itu, seperti hari-hari sebelumnya, terasa sepi dan hampa. Cinta mencoba mengalihkan pikirannya dengan bekerja, tetapi pikirannya selalu kembali kepada Bowo. Dia ingat saat-saat ketika mereka masih berbagi segalanya—tawa, cerita, bahkan mimpi-mimpi yang mereka bangun bersama.
Ketika malam tiba, Cinta duduk di meja makan, menyantap makan malam sendirian. Dia melirik ponselnya, berharap ada balasan dari Bowo. Hanya ada kegelapan, keheningan yang terasa semakin menyakitkan. Rasa kehilangan dan kesepian melanda hatinya. Dia merindukan suara Bowo, merindukan kehadirannya, dan yang terpenting, merindukan cinta yang dulu mengisi hidupnya.
Hari-hari berlalu dengan lambat, dan komunikasi antara mereka semakin jarang. Cinta merasa Bowo semakin menjauh. Ketika dia menelepon, sering kali panggilannya tidak dijawab, dan pesan-pesan yang dikirimkan sering kali tidak mendapatkan balasan. Setiap kali ponselnya bergetar, harapan baru lahir, tetapi sering kali harapan itu dipatahkan oleh ketidakpastian.
“Apa yang terjadi padanya?” pikir Cinta dalam hatinya. “Apakah dia tidak mencintaiku lagi?” Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuinya, membuatnya merasa semakin terpuruk. Dia berusaha untuk tetap positif, tetapi semakin dia berusaha, semakin terasa berat beban di hatinya.
Suatu sore, Cinta memutuskan untuk mengunjungi kafe yang sama tempat mereka biasa bertemu. Dia berharap, mungkin dengan mengingat kenangan indah, dia bisa menemukan sedikit ketenangan. Ketika dia masuk ke dalam kafe, aroma kopi dan suara riuh pengunjung menyambutnya. Namun, semua itu tidak bisa mengalihkan perhatian dari rasa sepi yang terus menghantuinya.
Dia duduk di meja kecil di sudut, memesan latte, dan menatap keluar jendela. Mengamati orang-orang berlalu-lalang, dia merasa seperti orang asing di dalam hidupnya sendiri. Dulu, Bowo akan ada di sini, duduk di depannya, mengajaknya berbincang dan tertawa. Sekarang, semua itu hanya kenangan yang semakin pudar.
Dia mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi pesan. Tanpa ragu, dia menulis pesan kepada Bowo. “Bowo, aku merindukanmu. Apa kamu baik-baik saja di sana? Aku ingin sekali mendengar kabar darimu.” Pesan itu dikirim, dan dia menunggu, harap-harap cemas.
Selama dua jam, dia duduk di sana, menunggu balasan. Ketika akhirnya ponselnya bergetar, hatinya berdegup kencang. Namun, saat melihat layar, rasa kecewa kembali menyergap. Itu bukan pesan dari Bowo, melainkan notifikasi dari aplikasi media sosial. Dia menghela napas panjang, merasa putus asa.
Cinta berusaha menghibur dirinya. Dia tahu, hubungan jarak jauh memang sulit, tetapi seharusnya tidak semenyakitkan ini. Dia mulai mencari cara untuk mengalihkan pikirannya. Dia pergi ke gym, mencoba yoga, dan bahkan berkumpul dengan teman-teman. Namun, semua usaha itu terasa hampa. Tidak ada yang bisa menggantikan kehadiran Bowo.