Namaku CINTA

Mutiara indah kamuning
Chapter #8

Bab 8 - Cinta yang Terabaikan

Cinta Putri Amelia merenung di sudut kamarnya, menatap dinding yang seolah-olah menyimpan semua kenangan indah tentang dirinya dan Bowo. Sudah beberapa minggu berlalu sejak terakhir kali Bowo menghubunginya. Setiap kali ponselnya bergetar, harapannya bangkit, hanya untuk segera runtuh saat menyadari bahwa itu bukanlah pesan dari suaminya. Keterasingan mulai merayap ke dalam jiwanya, seperti bayangan gelap yang tak kunjung pergi.

Hari-hari berlalu dengan monoton. Cinta berusaha menjalani rutinitasnya, tetapi semuanya terasa hampa. Pekerjaan di kantornya tidak lagi memberikan semangat yang dulu, dan dia sering kali merasa terjebak dalam pikirannya sendiri. Setiap kali dia melihat pasangan lain, kenangan akan tawa dan kebahagiaan yang pernah mereka bagi akan menghantui pikirannya. Rindu yang membara membuat hatinya terasa sesak.

Dia mengingat saat-saat ketika Bowo akan pulang dari kantor dan mereka akan memasak bersama di dapur. Tawa dan canda menggema di dalam rumah, membuat segalanya terasa lebih cerah. Kini, suara itu hanya kenangan yang menyesakkan. Dia merasa seolah berada di tengah keramaian, tetapi sendirian. Makanan yang dia masak untuk Bowo, kini hanya untuk dirinya sendiri, dan sering kali, makanan itu pun berakhir di tempat sampah.

Cinta mencoba menghibur dirinya dengan melakukan aktivitas yang biasanya dia nikmati. Dia mulai pergi ke gym, ikut kelas yoga, dan bahkan berusaha untuk bertemu dengan teman-temannya. Namun, setiap kali dia tersenyum dan tertawa di depan orang lain, hatinya tetap merasakan kepedihan yang mendalam. Dia tahu, semua ini hanya kamuflase untuk menutupi kesedihannya yang tak kunjung sirna.

Suatu malam, Cinta menatap langit dari balkon rumahnya. Bintang-bintang bersinar dengan indah, tetapi tidak ada satu pun yang bisa menerangi kegelapan di dalam hatinya. Dia merindukan Bowo, merindukan semua hal yang membuatnya merasa dicintai. “Kenapa kamu menjauh, Bowo?” lirihnya. “Apakah aku sudah tidak berarti lagi bagimu?”

Setiap kali Cinta memikirkan Bowo, hatinya penuh dengan pertanyaan. Dia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di Kalimantan. Apakah pekerjaan Bowo benar-benar sepadat itu? Atau ada sesuatu yang lebih dalam yang membuatnya menjauh? Dia mencoba untuk bersikap positif, berpikir bahwa mungkin Bowo sedang berjuang dengan masalah di tempat kerjanya. Namun, semakin hari, rasa putus asa semakin mendalam.

Suatu hari, ketika dia sedang berjalan-jalan di Malioboro, Cinta mendengar lagu yang dulu mereka dengarkan bersama. Melodi itu mengingatkannya pada momen-momen bahagia, dan air matanya tak tertahankan. Dia berusaha mengingat senyum Bowo, cara dia menatapnya dengan penuh cinta. Tapi, semakin dia berusaha mengingat, semakin terasa seperti kenangan itu berusaha menjauh darinya.

Setelah beberapa hari, Cinta memberanikan diri untuk menghubungi Bowo sekali lagi. “Bowo, aku berharap kamu baik-baik saja. Aku merindukanmu. Tolong, kabari aku,” tulisnya di pesan singkat. Dia menekan tombol kirim dengan harapan besar, meskipun hatinya dipenuhi keraguan. Tak lama kemudian, ponselnya bergetar. Namun, saat melihat layar, harapannya kembali pupus. Itu hanya notifikasi dari aplikasi belanja online.

Hari-hari berlalu, dan Cinta mulai merasakan kepedihan yang mendalam. Dia merasa seolah-olah Bowo sudah melupakan dirinya. Meskipun dia tahu hubungan jarak jauh adalah tantangan, dia tidak pernah membayangkan bahwa cinta mereka bisa terasa begitu rapuh. “Apakah aku benar-benar terabaikan?” pikirnya. Dia merasa seperti bayangan di dalam hidup Bowo, tidak lebih dari sekadar kenangan yang mungkin akan dilupakan seiring waktu.

Cinta berusaha berbicara dengan teman-temannya, berharap bisa menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang mengganggunya. Namun, setiap kali dia membuka topik tentang Bowo, teman-temannya akan menyarankan agar dia bersikap lebih sabar. “Cinta, jarak memang sulit. Mungkin dia hanya butuh waktu untuk beradaptasi,” saran salah satu temannya.

Namun, saran itu tidak menenangkan hati Cinta. Dia merasa seolah-olah tidak ada yang mengerti betapa dalamnya rasa sakit yang dia rasakan. Setiap malam, dia berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar, mencoba menenangkan pikiran yang terus berputar. Mengapa Bowo tidak pernah bercerita tentang apa yang terjadi di Kalimantan? Apakah dia merasa kesepian juga? Atau apakah dia sudah menemukan kebahagiaan baru di sana?

Lihat selengkapnya