Cinta Putri Amelia tidak pernah menyangka bahwa harinya yang damai di sore itu akan berubah menjadi salah satu yang paling kelam dalam hidupnya. Dengan segelas teh hangat di tangan, dia duduk di teras rumah, menatap halaman yang sepi. Hanya suara angin yang berdesir pelan, dan sesekali burung-burung berkicau. Beberapa hari terakhir, dia mencoba merelakan rasa rindu dan kesepian yang menggerogoti hatinya. Dia berusaha menemukan kembali dirinya di tengah keterasingan yang menyakitkan.
Hari-hari tanpa kabar dari Bowo telah membuat Cinta semakin merasa hampa. Meskipun sudah mengirimkan surat yang berisi ungkapan hati, jawaban yang dia harapkan tak kunjung tiba. Rasa putus asa perlahan menyelimuti harapannya. Namun, dia berusaha tetap optimis, mengingat setiap momen indah yang pernah mereka miliki. “Mungkin dia hanya sibuk,” pikirnya, berusaha meyakinkan diri sendiri.
Cinta mengambil ponselnya dan memeriksa notifikasi, berharap menemukan kabar dari Bowo. Hatinya berdegup kencang saat melihat ada satu pesan baru di aplikasi WhatsApp. Dengan rasa ingin tahu dan cemas, dia membuka aplikasi itu. Pesan itu berasal dari Bowo. Sebuah pesan yang seharusnya membawa harapan, namun sebaliknya, menghancurkan hatinya.
Cinta mulai membaca pesan tersebut. “Cinta, kita perlu berbicara. Aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku ingin bercerai.” Pesan singkat itu menohok hatinya seperti pisau tajam. Dia merasa seolah seluruh dunia mendadak runtuh di hadapannya. Tidak ada penjelasan, tidak ada alasan, hanya kata-kata yang seolah menjadi penghakiman atas cinta yang pernah mereka bangun bersama.
Air mata Cinta jatuh membasahi pipinya. Dia tidak bisa mempercayai apa yang baru saja dibacanya. “Bercerai? Kenapa?” pikirnya dengan penuh kepanikan. Kenapa Bowo melakukan ini? Apa yang salah dalam hubungan mereka? Apakah semua janji yang diucapkan selama ini hanya sekadar kata-kata kosong?
Dengan gemetar, Cinta mencoba membalas pesan itu. “Bowo, kenapa kamu tiba-tiba mengatakan ini? Apa yang terjadi? Kita bisa membicarakannya.” Dia menunggu beberapa saat, berharap ada balasan dari Bowo, tetapi yang dia dapatkan hanyalah kesunyian. Beberapa menit berlalu, dan hatinya semakin terhimpit oleh ketidakpastian.
Cinta merasa terjebak dalam badai emosinya sendiri. Kenangan-kenangan indah mulai berkelebat dalam pikirannya, semua momen bahagia yang pernah mereka lewati seolah-olah mempermainkan perasaannya. Dia ingat saat-saat Bowo memeluknya erat setelah mereka menjalani hari yang melelahkan, ketika mereka bercanda di dapur sambil memasak bersama, dan saat Bowo mengajaknya berjalan-jalan di tepi pantai saat bulan purnama. Semua kenangan itu terasa semakin menyakitkan ketika harus berhadapan dengan kenyataan pahit ini.
“Bagaimana bisa semua ini terjadi?” lirihnya, menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Cinta tidak tahu bagaimana cara menghadapi semua ini. Air mata yang jatuh tak dapat menghentikannya. Dia merasa seolah seluruh kebahagiaan yang pernah ada kini tinggal kenangan. Semua harapan dan impian untuk masa depan yang mereka bangun terasa hancur dalam sekejap.
Dalam keputusasaannya, dia teringat akan surat yang dia kirimkan. Apakah itu semua sia-sia? Apakah dia sudah cukup berjuang? Dia merasa hatinya terjerat dalam perasaan bersalah dan ketidakberdayaan. Cinta mengingat bahwa selama ini dia berusaha sekuat tenaga untuk memperbaiki hubungan mereka, tetapi tidak pernah terbayang bahwa Bowo akan mengambil keputusan secepat ini tanpa memberikan kesempatan untuk berdiskusi.