Hari-hari berlalu, dan Cinta Putri Amelia merasa hidupnya seakan terjebak dalam pusaran kesedihan yang tak berujung. Seperti matahari yang tak kunjung terbit setelah malam gelap, harapannya untuk berkomunikasi dengan Bowo semakin memudar. Setiap pagi, dia akan memeriksa ponselnya, menunggu pesan dari suaminya, tetapi selalu hanya mendapatkan keheningan. Rindu yang mendalam semakin menyesakkan dadanya, membuat setiap detik terasa seperti satu tahun.
Cinta sudah mencoba berbagai cara untuk menghubungi Bowo. Dia mengirimkan pesan-pesan panjang yang penuh dengan perasaannya, berulang kali menyatakan betapa dia merindukannya dan betapa dia ingin mendengar suaranya. Dia bahkan meminta bantuan teman-teman mereka untuk menjangkau Bowo, berharap bahwa seseorang akan menyampaikan betapa pentingnya komunikasi ini. Namun, semua usaha itu sia-sia. Bowo tetap diam, seakan mengabaikan seluruh dunia di sekelilingnya.
Satu malam, ketika rembulan bersinar cerah, Cinta duduk di teras rumahnya, memandangi langit. Dia merasa seperti bulan, tampak indah namun kesepian. Air mata mengalir di pipinya, tak mampu lagi dia bendung. “Kenapa kamu melakukan ini, Bowo?” bisiknya, seolah Bowo bisa mendengarnya. Hatinya penuh dengan kebingungan dan rasa sakit yang tak terlukiskan.
Dia teringat saat-saat mereka bahagia, bagaimana Bowo selalu ada untuknya, bagaimana mereka saling mendukung satu sama lain dalam setiap langkah kehidupan. Kenangan-kenangan itu kini seperti pisau tajam yang menghujam jantungnya. Cinta merasa patah hati. Dia telah kehilangan anak mereka, dan sekarang dia juga hampir kehilangan suaminya. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan betapa dalamnya rasa sakit yang dia rasakan.
Malam itu, Cinta memutuskan untuk mengumpulkan semua surat-surat dan pesan yang pernah dia kirimkan kepada Bowo. Dia ingin menulis satu lagi surat, surat yang mungkin akan menjadi yang terakhir. Dia duduk di meja kerja, mengambil selembar kertas dan mulai menulis.
“Bowo,” tulisnya dengan tangan bergetar. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Setiap hari aku terbangun dengan harapan bahwa semua ini hanya mimpi buruk. Tapi kenyataannya adalah aku kehilanganmu, dan aku merasa sangat kesepian. Aku tidak mengerti apa yang terjadi antara kita, dan semua ini membuatku semakin bingung.”
Cinta menghela napas, air mata mengalir di pipinya. “Kamu tahu betapa aku mencintaimu. Sejak kita menikah, aku selalu berusaha menjadi istri yang terbaik untukmu. Namun, sekarang aku merasa seperti kehilangan bagian dari diriku sendiri. Hidupku terasa hampa tanpa hadirmu di sampingku.”
Dia melanjutkan menulis, menumpahkan semua perasaannya ke dalam surat itu. Dia berharap bahwa suatu saat Bowo akan membacanya, dan mungkin, itu akan membuatnya memahami betapa mendalamnya rasa sakit yang dia alami. “Aku ingin kita berbicara, Bowo. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jika ada yang salah, beri tahu aku. Aku tidak ingin berpisah begitu saja. Aku percaya kita bisa melewati semua ini bersama.”
Setelah menyelesaikan surat tersebut, Cinta merasa sedikit lebih lega. Meskipun hatinya masih terasa berat, setidaknya dia telah mengekspresikan perasaannya. Dia menyimpan surat itu di dalam amplop dan menaruhnya di meja, berharap suatu saat nanti dia bisa mengirimkannya kepada Bowo.