Hari demi hari berlalu, dan Cinta Putri Amelia merasakan betapa beratnya beban yang harus dipikul. Ketidakpastian dan kesedihan telah menggerogoti jiwanya seperti kanker yang tak terlihat, merusak setiap sel kebahagiaan yang tersisa. Sekarang, dia bukan hanya kehilangan suaminya, Ari Wibowo Wicaksono, tetapi juga kehilangan anak yang dia impikan akan lahir ke dunia. Luka ganda ini membentuk sebuah jurang dalam hidupnya yang semakin dalam.
Di dalam rumah yang seharusnya penuh dengan tawa dan cinta, kini hanya ada kesunyian yang menyakitkan. Setiap sudut rumah mengingatkannya pada kenangan indah yang kini terasa seperti ilusi. Kamar tidur yang dulunya dipenuhi cinta dan harapan kini terasa dingin dan hampa. Cinta seringkali duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke arah dinding, seolah-olah menunggu seseorang yang tidak akan pernah kembali.
Setiap kali dia mencoba untuk bangkit, rasa sakit itu selalu kembali menghantui. Dia mengingat saat-saat bahagia ketika dia dan Bowo tertawa bersama, berbicara tentang masa depan mereka dan bagaimana mereka akan membesarkan anak mereka. Kini semua itu seolah-olah hilang ditelan bumi. Setiap kali dia melihat bayi-bayi yang digendong oleh ibu-ibu lain, rasa sakit itu semakin menggerogoti hatinya. Kenangan itu begitu menyakitkan, dan air mata tak henti-hentinya mengalir.
Cinta berusaha bergaul dengan teman-temannya, berharap mereka bisa membantunya merasa lebih baik. Namun, semua usaha itu terasa sia-sia. Teman-temannya tidak bisa memahami betapa dalamnya kesedihan yang dia rasakan. Mereka berbicara tentang kehidupan dan kebahagiaan, tetapi Cinta merasa seolah-olah terasing dari dunia di sekitarnya. Dia ingin sekali berbagi rasa sakitnya, tetapi tidak ada yang bisa memahami.
Suatu malam, saat hujan deras mengguyur Yogyakarta, Cinta berbaring di ranjang sambil menggenggam bantal. Dia teringat akan masa-masa sebelum semuanya hancur. Kenangan itu seperti pisau tajam yang terus menghujam hatinya. Dalam keheningan malam yang hampa, Cinta teringat akan senyuman Bowo, cara dia menatapnya penuh cinta, dan harapan-harapan yang telah mereka bangun bersama. Namun kini semua itu hanya menjadi bayangan yang menyakitkan.
Dia terbangun di tengah malam, merasakan sesak di dadanya. Dalam kebingungan, dia melihat ponselnya, berharap melihat pesan dari Bowo. Namun, tak ada yang muncul. Hanya keheningan. Air mata kembali mengalir, dan dia merasakan betapa kosongnya hidupnya. Cinta merasa seolah-olah dia adalah bayangan dari dirinya yang dulu, yang penuh dengan semangat dan cinta. Kini, dia merasa tidak berharga, seolah-olah tidak ada lagi yang bisa dia berikan.
Dalam keputusasaannya, Cinta mulai mengisolasi diri. Dia tidak lagi ingin bertemu dengan siapa pun, bahkan teman dekatnya. Dia mengunci diri di dalam rumah, menghindari setiap interaksi. Dalam pikirannya, dia merasa bahwa semua orang akan menganggapnya lemah jika mereka tahu betapa terpuruknya dia. Dia tidak ingin menjadi beban bagi orang lain. Dia hanya ingin menyendiri dan merasakan kesedihan itu sampai semua rasa sakit itu sirna.