Setelah berhari-hari bergulat dengan keputusan yang sulit dan perasaan yang campur aduk, Cinta Putri Amelia akhirnya berhasil mendapatkan nomor telepon Bowo. Momen itu terasa seperti saat terlahir kembali; harapan dan ketakutan menyatu menjadi satu dalam dada. Dia tahu bahwa dia harus melakukan ini, harus berbicara langsung dengan Bowo untuk mengurai benang kusut yang melilit hidup mereka. Dengan tekad bulat, Cinta mengumpulkan keberanian dan menekan tombol panggil.
Detak jantungnya berdebar kencang saat suara dering terdengar di telinga. Dia berharap agar Bowo mengangkat teleponnya, berharap bahwa suara lembut suaminya akan membangkitkan kenangan indah yang pernah mereka bagi. Namun, setiap detik yang berlalu terasa seperti satu tahun. Saat panggilan terjawab, Cinta merasakan napasnya tercekat.
“Halo,” suara Bowo terdengar di ujung sana, datar dan tanpa emosi. Suara yang dulu selalu menghangatkannya kini terasa dingin, seperti embun pagi yang menyentuh kulit.
“Halo, Bowo,” Cinta mengucapkan namanya, mencoba menahan air mata yang hampir menetes. “Ini Cinta. Apa kau... bisa meluangkan waktu untuk berbicara?”
“Ya, ada apa?” Jawaban Bowo singkat, membuat Cinta merasakan jarak yang semakin menjauh di antara mereka.
“Bowo, aku... aku ingin tahu mengapa kamu ingin bercerai. Apa yang salah? Kita bisa membahasnya, bisa mencoba memperbaikinya,” suara Cinta bergetar, berusaha mempertahankan ketenangan di tengah ketidakpastian.
Dia bisa mendengar Bowo menarik napas dalam-dalam. “Cinta, aku sudah memutuskan. Ini bukan tentangmu. Ini tentang aku. Aku merasa tidak bahagia di sini. Jadi, lebih baik kita akhiri saja.”
Pernyataan Bowo bagaikan petir di siang bolong, membuat Cinta terdiam sejenak. Dia tidak bisa membayangkan bahwa kata-kata itu akan terlontar. “Tapi, Bowo, kita sudah membangun banyak hal bersama. Kita bisa berusaha untuk membuatnya lebih baik,” Cinta berusaha meyakinkan, meski hatinya seolah teriris.
“Cinta, aku tidak ingin berdebat. Ini adalah keputusanku. Aku minta maaf jika ini menyakitkanmu, tetapi aku sudah tidak bisa lagi melanjutkan hubungan ini,” jawab Bowo dengan nada tegas.
Cinta merasa seolah seluruh dunia runtuh di sekelilingnya. Keputusan Bowo untuk bercerai terasa seperti pisau yang mengoyak jiwanya. “Tapi, Bowo... apa yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkannya? Kita pernah bahagia, ingatkan?”