Cinta Putri Amelia menghempaskan tubuhnya ke ranjang yang sudah dikenalnya sejak kecil. Kamar ini, yang dulunya penuh dengan poster-poster idolanya dan tumpukan buku yang tak terbaca, kini terasa sunyi dan asing. Meskipun dikelilingi oleh orangtuanya yang penuh kasih, Cinta merasa seperti dia terjebak di dalam cangkang kosong. Pikirannya melayang kembali ke hari-hari bahagia ketika dia dan Bowo saling berbagi impian, dan kenangan itu terasa semakin menyakitkan.
Setelah perceraian yang menyakitkan itu, Cinta kembali ke rumah orangtuanya. Keputusan untuk kembali ke rumah orangtuanya bukanlah pilihan yang mudah. Dia merasa seolah mundur dari semua yang pernah ia banggakan—kehidupan berumah tangga yang ia impikan, pernikahan yang ia anggap sakral, dan keinginan untuk memiliki keluarga kecil yang bahagia. Semua itu hancur dalam sekejap mata, meninggalkan bekas yang dalam di hatinya.
“Cinta, mau makan malam? Ibu sudah menyiapkan makanan kesukaanmu,” tanya ibunya, menengok ke dalam kamar. Suaranya lembut dan penuh perhatian, tetapi bagi Cinta, itu hanya terasa seperti suara latar yang tidak berarti. Dia hanya mengangguk, meski hatinya terasa berat.
Malam itu, saat duduk di meja makan bersama orangtuanya, Cinta berusaha tersenyum. Ayah dan ibunya berbicara tentang berita-berita terkini, hal-hal sepele yang seharusnya bisa membuatnya tertawa. Namun, tidak ada satu pun kata yang bisa menghiburnya. Rasa sakit yang dia alami terlalu dalam untuk disembunyikan di balik senyuman palsu. Dia menatap piringnya, berusaha menyuap nasi tetapi tidak bisa menikmati setiap suapan.
“Ibu tahu ini adalah masa yang sulit bagimu, tetapi kamu harus kuat, Nak,” ucap ibunya lembut, mencengkeram tangannya. “Kami ada di sini untukmu. Kami mencintaimu.”
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Cinta. Rasa bersalah melanda dirinya. “Maaf, Bu. Aku tidak bisa… tidak bisa merasakan apa pun saat ini,” ujarnya dengan suara bergetar. Dia merasa bersalah karena tidak bisa memberikan kebahagiaan bagi orangtuanya yang sudah berjuang keras membesarkannya.
“Tidak apa-apa, Sayang. Kami tidak ingin kamu berpura-pura. Luangkan waktu untuk diri sendiri. Kami akan selalu mendukungmu,” jawab ibunya dengan penuh pengertian.
Cinta merasa sedikit lega, tetapi di dalam hati, kesedihan yang mendalam terus menggerogoti. Setiap malam, dia terbangun dari mimpi buruk tentang Bowo dan hidup mereka yang hancur. Dia sering terbangun dengan napas yang tersengal-sengal, merasa terjebak dalam lingkaran ketidakpastian dan kesedihan. Perasaannya semakin parah ketika dia ingat betapa Bowo mengakhiri semua impian mereka dengan begitu mudah. Cinta merasa tak berdaya dan terasing.