Setelah pertemuan yang menggugah semangat dengan Risma, Cinta Putri Amelia merasakan ada dorongan baru dalam hidupnya. Namun, meskipun harapan itu mulai tumbuh, ia menyadari bahwa luka yang mendalam masih menghantuinya. Setiap malam, ketika kegelapan merayap masuk ke dalam kamar, ingatan akan Bowo dan kehilangan anaknya kembali membanjiri pikirannya, membuatnya terjebak dalam siklus kesedihan yang tak berujung. Ia tahu bahwa untuk benar-benar bangkit, dia perlu bantuan lebih dari sekadar dukungan sahabat.
Suatu pagi, setelah berbincang dengan ibunya, Cinta akhirnya memutuskan untuk mencari bantuan profesional. Ibunya mendukung penuh keputusannya untuk memulai terapi, menyarankan agar ia berbicara dengan seorang dokter jiwa yang telah dikenal baik di Yogyakarta. “Terkadang, berbicara dengan orang luar bisa membantu kita melihat hal-hal dari sudut pandang yang berbeda,” kata ibunya dengan lembut. Mendengar itu, Cinta merasa ada secercah harapan untuk bisa memperbaiki kehidupannya.
Hari pertama terapi tiba. Cinta memasuki ruang praktik yang didekorasi dengan lembut, suasananya menenangkan dengan warna-warna pastel dan tanaman hijau yang tumbuh subur di sudut ruangan. Aroma lilin aromaterapi yang menyegarkan membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Namun, kegugupan tetap saja menyelimuti hatinya saat ia menunggu terapisnya, seorang wanita bernama dokter Maya.
Ketika dokter Maya masuk, senyum ramahnya segera membuat Cinta merasa lebih nyaman. “Halo, Cinta. Senang bertemu denganmu. Terima kasih sudah datang hari ini. Bagaimana kabarmu?” tanyanya dengan nada penuh empati.
Cinta mengambil napas dalam-dalam, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah. “Saya tidak begitu baik, sebenarnya,” jawabnya dengan suara pelan. “Tapi saya ingin berusaha untuk lebih baik.”
“Langkah pertama adalah mengakui perasaanmu. Aku di sini untuk membantumu dengan itu. Mari kita mulai dari awal. Ceritakan padaku apa yang membuatmu merasa seperti ini,” dokter Maya mendorongnya dengan lembut.
Cinta mulai bercerita tentang perjalanan hidupnya. Ia menjelaskan bagaimana kehidupannya berubah sejak menikah dengan Bowo, bagaimana rasa bahagia itu perlahan memudar, dan bagaimana dia merasakan kehampaan setelah kehilangan anaknya. Ia menggambarkan betapa sulitnya bagi dirinya untuk melanjutkan hidup dan bagaimana ia sering merasa tidak berharga. Setiap kata yang keluar dari mulutnya seolah mengangkat beban yang selama ini mengikatnya.
Dokter Maya mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali memberikan komentar yang menegaskan bahwa perasaan Cinta valid dan wajar. “Kehilangan adalah pengalaman yang sangat menyakitkan. Itu bisa menghancurkan, dan kamu tidak sendirian dalam merasakan semua ini,” ucapnya. “Kita semua butuh waktu untuk memproses rasa sakit. Yang terpenting adalah kita berusaha untuk bangkit dari keterpurukan ini.”