Cinta Putri Amelia duduk di sofa empuk di ruang terapis, merasakan kenyamanan yang biasa ia dapatkan dari suasana tenang di sekelilingnya. Hari itu adalah sesi ketigapuluhnya bersama dokter Maya, dan setelah sekian lama, Cinta merasa seperti ia telah membuat banyak kemajuan. Meski jalannya masih panjang, ia mulai memahami arti dari banyak konsep yang sebelumnya terasa asing baginya.
“Cinta, hari ini kita akan membahas tema penting: memaafkan,” kata dokter Maya dengan nada lembut. “Memaafkan bukan hanya tentang orang lain, tetapi juga tentang diri kita sendiri. Apa yang kamu rasakan tentang hal itu?”
Cinta terdiam sejenak, membiarkan pertanyaan itu bergema di pikirannya. Memaafkan—kata yang sederhana, tetapi memiliki makna yang dalam dan rumit. “Aku... aku tidak tahu. Rasanya sulit. Memaafkan Bowo itu satu hal, tapi memaafkan diriku sendiri terasa lebih berat,” ungkapnya, suara Cinta bergetar.
Dokter Maya mengangguk, terlihat mengerti. “Itu sangat wajar. Banyak orang mengalami kesulitan dalam memaafkan diri mereka sendiri setelah situasi sulit. Apa yang kamu rasa sulit untuk dimaafkan dalam dirimu sendiri?”
Cinta mengalihkan pandangannya ke lantai, memikirkan banyak hal yang menghantuinya. “Aku merasa seharusnya aku bisa melakukan lebih banyak untuk Bowo. Seharusnya aku lebih memahami perasaannya. Seharusnya aku bisa mencegah semua ini terjadi,” katanya, setiap kata terasa seperti belati yang menusuk hatinya.
“Memaafkan diri sendiri berarti melepaskan rasa bersalah yang kamu pikul. Ingatlah, Cinta, kita semua manusia dan tidak sempurna. Kita tidak bisa mengontrol semua hal yang terjadi di sekitar kita. Apa yang terjadi dihubunganmu dengan Bowo bukan sepenuhnya salahmu,” Dokter Maya menjelaskan dengan sabar.
Cinta mengangguk pelan, tetapi rasa bersalah itu tidak begitu saja menghilang. Dalam pikirannya, bayangan Bowo selalu hadir—suaminya yang dulu, sosok yang pernah menjadi teman hidup dan kini hanya menyisakan rasa sakit. “Tapi, aku merasa jika aku lebih kuat, mungkin semua ini bisa dihindari,” Cinta berbisik, menahan air mata yang menggenang.
Dokter Maya tersenyum lembut. “Kekuatan bukan berarti tidak merasakan sakit. Kekuatan adalah tentang bagaimana kita berusaha bangkit dan belajar dari pengalaman itu. Memahami bahwa kamu sudah melakukan yang terbaik dalam situasi tersebut adalah langkah penting dalam proses memaafkan.”
Cinta merasa tersentuh oleh kata-kata dokter Maya. Untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, ia merasa ada harapan. Mungkin, memaafkan dirinya sendiri bukanlah sesuatu yang mustahil. Ia mulai berusaha untuk melihat keadaan dari sudut pandang yang berbeda, bukan hanya sebagai korban, tetapi juga sebagai seorang yang berhak untuk mendapatkan pengertian dan kasih sayang dari diri sendiri.
“Bagaimana aku bisa mulai memaafkan diriku?” tanya Cinta dengan harapan, ingin mendengar saran praktis dari terapisnya.
“Cobalah untuk menulis surat kepada dirimu sendiri. Surat yang menjelaskan semua perasaanmu, semua kesedihan dan kekecewaan. Tuliskan juga bahwa kamu memaafkan dirimu atas segala kesalahan yang kamu rasakan. Ini bisa menjadi cara yang sangat efektif untuk melepaskan beban emosional,” dokter Maya menyarankan.