Hari itu datang dengan nuansa yang penuh ketegangan. Cinta Putri Amelia berdiri di depan cermin, memperhatikan refleksinya dengan cermat. Ia mengenakan blus putih sederhana dan celana jeans, memutuskan untuk tampil casual tetapi tetap rapi. Namun, di balik penampilannya yang tenang, hati Cinta berdebar kencang. Hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu sekaligus ia takuti—pertemuan dengan Bowo.
Cinta telah menyiapkan dirinya untuk menghadapi segala kemungkinan. Setelah pertemuan mereka sebelumnya, ia merasakan harapan baru, tetapi harapan itu datang dengan risiko. Menghadapi orang yang pernah menjadi bagian terpenting dalam hidupnya dan yang telah menyebabkan luka begitu dalam bukanlah hal yang mudah.
Setelah menunggu beberapa menit di kafe tempat mereka sepakat bertemu, Bowo akhirnya muncul. Ia terlihat lebih ramping dibandingkan sebelumnya, dengan ekspresi wajah yang menunjukkan ketegangan. Saat mata mereka bertemu, Cinta merasakan campuran antara kerinduan dan sakit hati. Ia tak bisa menghindari semua kenangan yang mengisi pikirannya.
“Cinta,” Bowo memanggilnya dengan lembut, sambil tersenyum canggung.
“Bowo,” balas Cinta, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang meskipun hatinya bergetar.
Mereka duduk di meja yang sama seperti sebelumnya, tetapi suasananya kini jauh berbeda. Cinta merasakan kehadiran rasa canggung yang menyelimuti antara mereka. Setelah beberapa saat hening, Bowo memulai pembicaraan.
“Aku ingin mulai dengan meminta maaf,” katanya dengan tulus. “Aku tahu aku telah menyakiti hatimu dan membuat hidupmu lebih sulit. Itu tidak pernah menjadi niatku.”
Cinta menatapnya dalam-dalam, mencoba membaca ekspresi di wajahnya. Ada penyesalan yang tulus, tetapi mengapa semua ini baru muncul sekarang? Mengapa tidak ada penjelasan sebelumnya saat ia begitu merindukan kejelasan? Ia ingin sekali menggali lebih dalam, tetapi ia juga tahu betapa menyakitkannya perasaan ini.
“Aku sudah mendengarkan permintaan maafmu sebelumnya, Bowo. Tapi apa itu cukup untuk menyembuhkan semua yang terjadi?” Cinta bertanya, suara yang sedikit bergetar. “Apa alasanmu sebenarnya untuk pergi dan meminta perceraian? Mengapa kau tidak memberiku kesempatan untuk memahami situasimu?”
Bowo terlihat bingung sejenak. Ia membuka mulut seolah ingin berkata sesuatu, tetapi tidak melanjutkan. “Aku… aku sudah berpikir keras tentang semua ini, dan aku tahu aku tidak bisa menjelaskan semuanya dengan baik. Ketika aku pergi, aku merasa terjebak dalam hidupku sendiri. Rasanya seperti aku tidak bisa bernafas. Itu bukan tentang kamu, tetapi tentang diriku sendiri.”