Cinta Putri Amelia duduk di beranda rumah orangtuanya, menatap langit senja yang mulai menghiasi horizon dengan nuansa jingga dan ungu. Senyuman samar terbentuk di bibirnya saat angin sepoi-sepoi menyapu wajahnya, membawa aroma segar dari taman yang dipenuhi bunga-bunga berwarna cerah. Sejak pertemuannya dengan Bowo beberapa hari yang lalu, ada perasaan yang tidak biasa menghampiri hatinya. Meski pertemuan itu penuh ketegangan, Cinta merasa seolah ada beban yang terangkat dari pundaknya.
Setelah mendengar permintaan maaf Bowo, meskipun tanpa penjelasan yang jelas, Cinta merasakan suatu kedamaian yang sebelumnya tidak pernah ia rasakan sejak perceraian. Seolah sebuah halaman baru dalam hidupnya dibuka, meskipun rasa sakit dari kehilangan masih membekas dalam jiwa. Cinta menatap ke arah jalanan di luar, melihat orang-orang berlalu-lalang, tampak sibuk dengan kehidupan mereka masing-masing. Ia menyadari bahwa hidupnya tidak berhenti di sini. Ia harus melanjutkan langkahnya.
"Kenapa aku harus terus mengingat sesuatu yang tidak lagi ada?" gumamnya pada diri sendiri, mencoba menenangkan pikirannya. Setiap kali teringat kenangan indah dengan Bowo, hatinya bergetar. Namun, ia tahu bahwa merindukan sesuatu yang telah berlalu hanya akan memperparah rasa sakitnya. Ia harus melangkah maju, meskipun tidak mudah.
Cinta mengeluarkan buku hariannya, alat setia yang selalu menemaninya di saat-saat sulit. Dengan hati-hati, ia membuka halaman-halaman yang penuh coretan, menggambarkan semua perasaan dan keinginannya. Hari ini, ia menulis dengan semangat baru, mengekspresikan tekadnya untuk melepaskan masa lalu.
Hari ini, aku memilih untuk melupakan.
Tulisan itu menjadi mantra bagi Cinta. Dia ingin berfokus pada masa depan dan menjalani hidupnya dengan cara yang lebih berarti. Dia tahu bahwa melepaskan bukan berarti melupakan segalanya, tetapi memberikan tempat baru bagi kenangan indah dan pahit itu, agar tidak menghalangi jalannya menuju kebahagiaan.
Setelah menulis, Cinta merasa seolah ada energi baru yang mengalir dalam dirinya. Ia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju dapur. Ibu Cinta sedang menyiapkan makan malam, dan aroma masakan yang menggugah selera itu membuat perutnya keroncongan. "Cinta, mau bantu Ibu?" tanya Ibu dengan senyum lembutnya.