Hari-hari di Yogyakarta mulai berangsur-angsur normal, tetapi dalam hati Cinta Putri Amelia, proses pemulihan masih berlangsung. Meskipun ia telah menemukan gairah baru dalam karirnya dan mendukung oleh sahabat-sahabatnya, ada satu hal yang masih menghantui: trauma dari masa lalu yang tak kunjung reda. Pengalaman kehilangan anak dan perceraian dengan Bowo tidak hanya meninggalkan luka fisik, tetapi juga bekas yang dalam dalam jiwa dan emosinya.
Cinta telah menghadiri sesi terapi dengan terapis yang berpengalaman, dokter Maya, yang membantunya menggali lebih dalam perasaan dan pengalamannya. Dalam sesi-sesi itu, Cinta belajar untuk mengenali dan memahami trauma yang ia alami, serta dampaknya terhadap hidupnya. Dokter Maya mendorong Cinta untuk tidak hanya menghadapi rasa sakitnya, tetapi juga untuk memprosesnya dengan cara yang sehat.
“Cinta, kita tidak bisa menghindari masa lalu. Namun, kita bisa memilih bagaimana kita akan bereaksi terhadapnya,” kata dokter Maya pada suatu sesi. “Menghadapi trauma bukan berarti menghapus kenangan, tetapi mengizinkan dirimu untuk merasakan dan menerima perasaan tersebut.”
Cinta mengangguk, meski hatinya terasa berat. Memang, selama ini ia berusaha keras untuk menghindari rasa sakit, berusaha untuk move on tanpa sepenuhnya memahami apa yang telah terjadi. Namun, saat ia merenung, ia menyadari bahwa pelajaran berharga dari pengalaman tersebut adalah bagian penting dari proses penyembuhan.
Dalam satu sesi, Cinta memutuskan untuk menghadapi kenangan akan kehilangan anaknya. Ia duduk dengan tenang di sofa terapi, perasaannya campur aduk. Kenangan itu muncul dengan jelas—saat ia melihat hasil tes kehamilan yang positif, saat ia merasakan detak jantung kecil dalam kandungannya, dan saat harapan akan masa depan yang indah itu terenggut dalam sekejap.
“Aku merasa bersalah, dokter Maya. Seolah semua ini terjadi karena aku tidak cukup baik atau tidak layak untuk menjadi seorang ibu,” ungkap Cinta dengan suara bergetar. Air mata mulai mengalir di pipinya, melewati batas ketahanannya.
“Cinta, ingatlah bahwa kehilangan bukanlah kesalahanmu. Ini adalah tragedi yang tak terduga. Kamu tidak bisa mengontrol semua yang terjadi dalam hidupmu,” kata dokter Maya lembut. “Apa yang kamu rasakan adalah bagian dari proses berduka. Izinkan dirimu untuk merasa, dan pelan-pelan kamu akan belajar untuk melepaskan rasa bersalah itu.”
Cinta menarik napas dalam-dalam, berusaha mencerna kata-kata dokter Maya. Mungkin selama ini, ia terlalu keras pada dirinya sendiri. Menghadapi trauma dari kehilangan anaknya bukanlah hal yang mudah, tetapi ia tahu bahwa ia harus melakukannya untuk bisa melangkah maju.
Setelah sesi tersebut, Cinta memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Ia mengambil waktu sejenak untuk menulis di buku hariannya, mengekspresikan semua perasaan yang belum terucap. Dalam halaman-halaman itu, ia menuliskan tentang cinta yang ia rasakan terhadap anaknya yang hilang, dan bagaimana ia merasa terputus dari kebahagiaan yang dulu.
“Aku tidak akan melupakanmu. Kamu akan selalu ada di hatiku,” tulisnya, air mata membasahi halaman tersebut. Dengan setiap kata yang ditulis, Cinta merasa sedikit lebih ringan. Ini adalah langkah pertama untuk melepaskan beban yang selama ini menekannya.