Hari-hari berlalu, dan hubungan Cinta dengan Andi semakin dekat. Setelah beberapa bulan menjalin pertemanan yang penuh dukungan, mereka telah menghabiskan banyak waktu bersama. Andi selalu ada untuknya—mendengarkan, berbagi tawa, dan memberikan dorongan yang diperlukan. Cinta merasakan ketulusan dalam setiap tindakan Andi, sesuatu yang tidak pernah ia rasakan selama pernikahannya dengan Bowo. Namun, meskipun kenyamanan yang diberikan Andi sangat berharga, Cinta masih berjuang dengan keraguan yang menghantuinya.
Suatu sore, Cinta dan Andi duduk di sebuah kafe kecil di Yogyakarta, tempat di mana mereka sering menghabiskan waktu. Cinta memandangi secangkir kopi di depannya, sementara Andi tersenyum lebar, menceritakan kisah lucu tentang pengalamannya di tempat kerja. Tawa Andi sangat menular, dan untuk sejenak, semua beban di hati Cinta terasa lebih ringan. Namun, di balik senyumnya, ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak tenang.
“Cinta, kenapa kamu terlihat jauh? Apakah ada yang mengganggumu?” tanya Andi dengan lembut, memperhatikan ekspresi wajahnya yang tiba-tiba berubah.
Cinta terdiam sejenak, berpikir tentang bagaimana ia akan menjelaskan keraguannya. “Aku… aku hanya merasa bingung, Andi. Hubungan kita terasa sangat menyenangkan, tapi aku masih merasa takut untuk melangkah lebih jauh,” ungkapnya dengan jujur.
Andi menatapnya dengan penuh pengertian. “Aku mengerti, Cinta. Ini adalah perasaan yang wajar, terutama setelah apa yang telah kamu alami. Tidak ada yang terburu-buru. Kita bisa melanjutkan dengan perlahan.”
Kata-kata Andi memberinya sedikit ketenangan, tetapi di sisi lain, Cinta juga merasakan keraguan yang lebih dalam. Bagaimana ia bisa sepenuhnya membuka diri lagi setelah semua rasa sakit yang ia alami? Andi adalah sosok yang berbeda dari Bowo—dia lebih lembut, lebih perhatian, dan selalu berusaha mendukungnya. Namun, bayang-bayang masa lalu selalu hadir, mengingatkannya pada semua ketidakpastian dan patah hati yang pernah ia alami.
Dalam perjalanan pulang, Cinta merenung. Ia melihat ke luar jendela mobil dan mengamati pemandangan Yogyakarta yang ramai. Dalam hatinya, ia merindukan kedamaian dan kebahagiaan yang tulus, sesuatu yang ia percaya bisa didapatkan dari hubungan yang sehat. Tapi bagaimana jika semua ini hanya ilusi? Bagaimana jika, pada akhirnya, ia hanya akan terluka lagi?
Sesampainya di rumah, Cinta langsung membuka laptopnya dan mulai menulis di buku hariannya. Ia mencurahkan segala pikirannya—tentang Andi, tentang rasa nyaman yang ia rasakan, tetapi juga tentang ketakutannya untuk terjebak dalam hubungan yang sama sekali baru. Dalam setiap kata yang ditulis, ia menyadari bahwa ia perlu menghadapi ketakutannya jika ingin melanjutkan hubungan ini.
Hari demi hari, hubungan mereka semakin berkembang. Cinta menemukan dirinya semakin nyaman bersama Andi. Mereka mulai berbagi lebih banyak hal—kegiatan, mimpi, bahkan ketakutan dan harapan. Andi, yang tampaknya selalu siap mendengarkan, seringkali menjadi tempat bagi Cinta untuk mengungkapkan semua yang ada di dalam pikirannya.