Seiring berjalannya waktu, hubungan Cinta dengan Andi berkembang dalam nuansa yang berbeda. Andi adalah sosok yang sabar, selalu siap mendengarkan tanpa menuntut lebih dari yang bisa diberikan Cinta. Ia mendukung keputusan Cinta untuk fokus pada penyembuhan dirinya, dan dalam proses itu, Cinta merasa ada kelegaan yang sebelumnya tidak pernah ia rasakan dalam hubungan.
Setiap kali mereka bertemu, Andi mengajak Cinta melakukan berbagai kegiatan yang sederhana namun penuh makna. Mereka sering berjalan-jalan di taman, menikmati kopi di kafe kecil, atau sekadar berbincang-bincang di tepi pantai saat senja. Cinta merasa nyaman dengan Andi. Ia tidak merasa terbebani oleh harapan atau tuntutan, yang sering kali membebani jiwanya.
Namun, meskipun ada kenyamanan itu, Cinta tetap merasakan ketegangan dalam diri. Dia berusaha untuk tidak terlalu terikat emosional, mengingat pengalaman pahit yang baru saja ia lalui. Cinta merasa perlu menjaga jarak emosional, tidak ingin terburu-buru dalam hubungan ini. Ia tahu bahwa meskipun Andi adalah sosok yang baik, ia masih harus menyelesaikan proses penyembuhan sebelum sepenuhnya membuka hatinya untuk orang lain.
Suatu sore, mereka duduk berdua di sebuah kafe kecil dengan suasana tenang. Cinta menatap secangkir kopi hangat di depannya, merenungkan tentang bagaimana hidupnya telah berubah. Andi yang duduk di seberangnya memandangnya dengan penuh perhatian, seolah bisa membaca setiap pikiran yang melintas di benaknya.
"Cinta," Andi memulai, suaranya lembut, "aku ingin kamu tahu bahwa aku di sini untukmu, tanpa tekanan. Jika kamu merasa perlu waktu, tidak apa-apa. Aku ingin kamu nyaman."
Cinta tersenyum, merasakan rasa syukur dalam hatinya. "Terima kasih, Andi. Itu sangat berarti bagiku. Aku hanya... ingin memastikan bahwa aku tidak terburu-buru. Aku masih berjuang dengan banyak hal."
Andi mengangguk, menunjukkan pengertian. "Aku mengerti. Kita bisa melakukan ini perlahan. Kita bisa berbagi waktu dan momen-momen kecil tanpa harus memaksakan apapun."
Percakapan mereka terus mengalir, dan Cinta merasa beban emosionalnya sedikit berkurang. Namun, di sudut hatinya, ada rasa ragu yang tak bisa diabaikan. Apakah dia benar-benar siap untuk membuka diri sepenuhnya kepada Andi? Atau akankah ia membawa luka lamanya ke dalam hubungan baru ini?
Hari-hari berlalu, dan Cinta menikmati setiap momen yang dihabiskannya bersama Andi. Namun, kadang-kadang saat ia melihat Andi tersenyum, ia juga merasakan ketakutan. Bagaimana jika ia menyakiti Andi di kemudian hari? Bagaimana jika perasaannya tidak sama dengan perasaan Andi?
Suatu malam, Cinta duduk di kamarnya, menulis di buku hariannya. Ia mencurahkan segala pikirannya—tentang Andi, tentang hubungan mereka, dan tentang ketakutannya untuk terluka lagi. "Aku suka Andi, tetapi aku juga takut," tulisnya. "Takut terjebak dalam hubungan yang sama sekali berbeda, tetapi tetap berujung pada rasa sakit. Bagaimana jika aku tidak cukup kuat untuk bertahan?"
Setelah menulis, Cinta menutup buku hariannya dan menatap ke luar jendela. Malam itu tenang, bintang-bintang bersinar terang di langit. Ia merasa seolah alam mengingatkannya untuk bersabar. Dalam kesunyian itu, Cinta berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap terbuka dan jujur, tidak hanya kepada Andi, tetapi juga kepada dirinya sendiri.