Matahari bersinar cerah di atas Yogyakarta, memberikan warna hangat pada hari yang tampaknya penuh harapan. Cinta berjalan menyusuri trotoar, menikmati angin sepoi-sepoi yang membelai wajahnya. Setiap langkahnya terasa ringan, seolah-olah beban berat yang selama ini mengikatnya telah diangkat. Perjalanan panjangnya menuju penyembuhan mulai membuahkan hasil.
Dia telah melalui berbagai fase—dari kehilangan hingga depresi, dari penolakan hingga penerimaan. Dan sekarang, di titik ini, dia merasa siap untuk mengucapkan selamat tinggal pada rasa sakit yang mengikutinya selama ini. Memaafkan adalah langkah terakhir yang ia perlukan untuk benar-benar melanjutkan hidupnya.
Dalam beberapa bulan terakhir, sesi terapinya bersama dokter Maya telah banyak membantunya. Mereka telah membahas berbagai hal, termasuk perasaan bersalah yang membelenggu Cinta—perasaan bahwa dia seharusnya melakukan lebih banyak hal untuk anaknya dan pernikahannya yang hancur. Namun, kini Cinta mulai menyadari bahwa perasaan-perasaan itu hanyalah penjara yang ia buat sendiri.
Cinta memutuskan untuk mengunjungi taman tempat dia sering menghabiskan waktu bersama Bowo. Tempat itu memiliki kenangan manis dan pahit, tetapi ia percaya bahwa hari ini adalah saat yang tepat untuk merayakan setiap momen yang telah dilalui. Saat dia tiba, aroma bunga-bunga segar menyerbu hidungnya. Suasana tenang dan damai membuatnya merasa nyaman.
Dia duduk di bangku yang sering mereka gunakan, menatap sekeliling. “Ini adalah tempat yang indah,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Sangat indah, bahkan untuk kenangan yang menyakitkan sekalipun.”
Dengan mengingat kembali kenangan-kenangan itu, Cinta mulai berbicara dalam hatinya, seolah berbicara kepada Bowo. “Aku sudah berusaha keras untuk memaafkanmu, Bowo. Memaafkan semua yang terjadi antara kita. Memahami bahwa kita berdua manusia yang tidak sempurna.” Dia menggigit bibirnya, merasa air mata mulai menggenang.
“Ketika kita menikah, aku percaya bahwa kita akan bersama selamanya. Namun, hidup seringkali tidak berjalan sesuai rencana,” lanjutnya, merasakan emosi yang bercampur aduk. “Kehilangan anak kita adalah momen terberat dalam hidupku, dan aku tahu itu juga sangat berat untukmu.”
Cinta menutup matanya, membayangkan kembali semua detil momen-momen indah dan penuh kesedihan yang mereka alami bersama. Dia tahu bahwa mereka tidak pernah benar-benar siap menghadapi kenyataan pahit tersebut, tetapi hidup memaksa mereka untuk melakukannya. Dalam saat-saat kelam, dia merasa marah, merasa tidak adil, dan menginginkan jawaban yang tidak pernah didapatnya.
“Namun, aku juga menyadari bahwa kita semua punya jalan masing-masing,” ujarnya, menenangkan dirinya. “Aku tidak bisa terus terjebak dalam kemarahan dan kesedihan. Aku ingin melanjutkan hidupku dan menemukan kebahagiaan yang baru.”