Hari-hari berlalu, dan Cinta merasa bahwa hidupnya semakin membaik. Meskipun bayang-bayang masa lalu masih sering menghampirinya, dia belajar untuk menghadapinya dengan keberanian yang baru. Di sampingnya, Andi muncul sebagai sosok yang tak terduga, menjadi teman sejati yang selalu siap mendukungnya.
Andi adalah pria yang hangat dan penuh pengertian. Setiap kali Cinta merasa terpuruk, Andi selalu bisa merangkulnya dengan lembut, mendengarkan setiap keluh kesahnya tanpa menghakimi. Dia tidak pernah berusaha untuk memaksa hubungan mereka ke dalam skenario romantis yang terburu-buru. Sebaliknya, dia memilih untuk menjalin ikatan yang lebih dalam dengan Cinta—sebuah persahabatan yang kuat, yang didasarkan pada saling pengertian dan dukungan.
Suatu sore, setelah sesi terapi yang melelahkan, Cinta merasa sangat lelah secara emosional. Dia memutuskan untuk menghubungi Andi dan mengajaknya untuk nongkrong di kafe favorit mereka. Kafe itu terletak di sudut yang tenang, dikelilingi pohon-pohon rindang yang membuat suasana terasa nyaman dan damai.
“Hey, kamu di mana?” tanya Cinta saat Andi mengangkat telepon.
“Aku sedang di jalan. Beberapa menit lagi sampai. Apa kamu sudah pesan kopi?” jawab Andi dengan nada ceria.
“Belum. Aku menunggu kamu,” Cinta tersenyum, merasakan kebahagiaan kecil di dalam hatinya.
Setelah beberapa menit menunggu, Andi tiba dengan senyuman lebar dan dua cangkir kopi di tangannya. “Kamu tahu aku, selalu membawa cadangan,” katanya sambil tertawa.
Cinta mengangguk dan mengajak Andi duduk di meja di luar kafe. “Terima kasih sudah datang. Aku butuh teman untuk berbagi cerita hari ini,” ujarnya sambil menghirup kopi hangatnya.
“Andaikan aku tidak datang, pasti aku akan menyesal,” Andi menjawab, dan wajahnya serius sejenak. “Jadi, apa yang terjadi? Apakah sesi terapimu berat lagi?”
Cinta menghela napas. “Ya, kali ini kami membahas tentang masa lalu. Kadang aku merasa tidak berharga karena semua yang terjadi. Rasanya seperti aku tidak bisa melanjutkan hidupku,” ungkapnya, jujur.