Hari itu adalah salah satu hari yang seharusnya biasa saja. Cinta menerima undangan dari Risma untuk menghadiri acara reuni kecil dengan teman-teman lama mereka. Di dalam hati, Cinta merasa senang bisa bertemu kembali dengan teman-teman yang sudah lama tidak ia jumpai. Dia sudah cukup jauh dalam proses pemulihan, namun masih ada sedikit rasa cemas yang menggelayutinya saat memikirkan pertemuan itu.
Cinta memilih mengenakan gaun sederhana yang membuatnya merasa percaya diri. Dia ingin menunjukkan bahwa dia telah tumbuh dan bertransformasi menjadi seseorang yang baru—seorang wanita yang kuat dan mandiri. Sebelum pergi, dia berdiri di depan cermin dan tersenyum pada bayangannya sendiri. “Kamu sudah siap, Cinta. Ini hanya reuni,” katanya pada dirinya sendiri.
Acara itu berlangsung di sebuah kafe yang ramai, dipenuhi dengan tawa dan kenangan lama. Ketika Cinta tiba, suasana hangat menyambutnya. Dia disambut oleh Risma dan teman-teman lainnya, yang semua tampak bahagia melihatnya. Momen itu dipenuhi dengan cerita-cerita lucu dan tawa, namun di sudut hatinya, ada perasaan cemas yang terus membayang.
Setelah beberapa saat berbincang dan mengenang masa-masa lalu, Cinta memutuskan untuk berjalan-jalan di luar untuk menghirup udara segar. Di saat itu, dia tidak bisa menghindari pikiran tentang Bowo. Meskipun sudah berbulan-bulan berlalu sejak perpisahan mereka, kenangan tentang Bowo masih membekas.
Cinta menghirup napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Namun, semua kegelisahan itu mendadak sirna saat matanya bertemu dengan seseorang yang sedang berdiri di sudut kafe—Bowo. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bowo tampak lebih tenang dan dewasa dibandingkan sebelumnya. Namun, kehadirannya tetap membawa kembali bayang-bayang masa lalu.
Detak jantung Cinta meningkat, dan seketika pikirannya dipenuhi dengan kenangan—semua tawa, semua air mata, dan semua harapan yang pernah ada antara mereka. Dia merasa cemas dan gugup, tetapi saat itu, ia menyadari bahwa rasa sakit dan kemarahan yang dulu ada di dalam dirinya perlahan-lahan menguap.
Bowo juga melihatnya. Matanya bertemu dengan Cinta, dan seolah waktu berhenti sejenak. Dalam tatapan itu, Cinta tidak melihat kemarahan atau penyesalan, melainkan sebuah kedamaian yang tidak pernah ia harapkan. Dia ingat betul bagaimana perasaannya setiap kali bertemu Bowo di masa lalu—perasaan campur aduk yang selalu membuatnya terluka. Namun kini, yang dirasakannya hanyalah sebuah ketenangan yang mendalam.
Bowo mendekatinya dengan langkah hati-hati, seolah takut mengganggu kedamaian yang telah ditemukan Cinta. “Cinta,” sapanya, suaranya terdengar lebih lembut dari yang ia ingat. “Sudah lama ya.”
Cinta mengangguk, “Iya, sudah cukup lama.” Suara Cinta tenang, meskipun hatinya berdegup kencang. Dia merasa aneh bisa berbicara dengan Bowo setelah semua yang telah terjadi.