Namaku Pingku

Gita Sri Margiani
Chapter #2

Undangan Dari Kucing Liar

"Beri kami makan!"

Aku mengenali suara itu. Dia adalah salah satu kawanku yang suka minta makan di rumah kami. Jadwal kedatangannya adalah tiga kali dalam satu hari yaitu setiap pagi, siang dan sore. Dia juga memiliki selera makan yang tinggi sampai-sampai suka mengambil jatah makanan kawanku yang lainnya. Kalau tidak diberikan ia akan mencakar dan mengusir semua kucing, membuat semua makanan yang tergeletak di teras menjadi miliknya. Setelah itu ia akan pergi ke tempat yang tidak kami ketahui, entah kembali memakan sampah atau tidur-tiduran di bawah mobil orang yang terparkir.

"Lama sekali! Aku sudah lapar!" Ujar kawanku yang lain.

Memang banyak sekali kawan-kawanku yang suka datang ke rumah hanya untuk menumpang makan dan tidur di teras. Sofia selalu memberikan mereka makanan walaupun sudah berkali-kali dilarang oleh Mommy karena mereka dianggap kotor dan bisa menyebarkan penyakit. Belum lagi kebiasaan mereka buang air kecil sembarangan di antara pot-pot bunga kesayangan milik Mommy. Karena bau pesing yang tidak terkendali, Mommy sangat marah dan selalu meminta Mbak Surti mengusir mereka. Dan dengan sapu lidi yang dimiliki Mbak Surti, ia selalu berhasil mengusir mereka dalam tiga kali pukulan. Mereka selalu ketakutan dan lari kocar-kacir jika diusir oleh Mbak Surti, namun pada akhirnya mereka akan selalu datang dan membawa semakin banyak pasukan untuk menuntut diberikan makanan.

"Sofia, tamunya sudah datang," ucap Mbak Surti dengan suaranya yang lantang. Semenjak Mbak Surti menyerah mengusir mereka, ia lebih suka memanggil kucing-kucing itu sebagai tamu dan menyerahkan segalanya kepada Sofia.

Sofia melewatiku untuk mengambil sebuah kotak berisi makanan kucing. Makanan yang diambil Sofia bukanlah makanan terbaik yang dimilikinya. Makanan itu bukan makanan enak yang biasa aku makan. Rasa makanan yang sedang dibawa Sofia sangat aneh dan memiliki aroma yang amis seperti ikan asin. Bentuknya pun menyerupai ikan-ikan kecil berwarna coklat yang terlihat gosong. Sofia selalu memintaku memakan makanan itu jika ia lupa membeli makananku yang sudah habis, tapi aku memilih untuk berpuasa sampai akhirnya makananku datang. Aku tidak bisa memakan makanan itu.

"Apa makanan itu untuk mereka?" Tanyaku sambil mengikuti Sofia.

"Pingku, jangan ikuti aku. Akan menjadi masalah kalau kamu tertular kutu yang ada di tubuh mereka," ucap Sofia.

"Tapi,"

"Jangan ikuti aku!" Perintahnya sebelum akhirnya meninggalkanku.

Aku tidak menghiraukan permintaan Sofia dan tetap mengikutinya. Toh aku bukan ingin bertemu secara langsung dan melakukan makan bersama dengan mereka. Aku hanya ingin mengobrol, bercerita tentang dunia luar yang tidak aku ketahui, dan juga memberitahu mereka bahwa aku akan pindah rumah tidak lama lagi.

"Hei Sofia, jangan tutup pintunya!" Kataku sambil mengejar Sofia, tapi sayangnya aku terlambat dan melihat pintu itu sudah tertutup rapat.

Tidak ada jalan lain, aku harus melompati sebuah jendela besar berada di sebelah pintu itu. Jendela kaca pembatas yang biasanya aku gunakan sebagai tempat duduk-duduk dan bersantai sambil menunggu Sofia yang baru pulang. Jendela itu juga menjadi tempat favoritku melihat dunia luar yang tidak aku ketahui. Aku bisa melihat hujan, mobil dan motor yang lewat, dan juga yang paling penting melihat kawan-kawanku yang suka datang ke rumah. Dan kini aku melihat Sofia sedang dikerumuni delapan ekor kucing liar di kakinya.

"Beri aku makan."

"Giliranku, giliranku."

"Aku sudah sangat lapar."

Mereka berteriak sekuat tenaga untuk mendapatkan perhatian Sofia. Sofia yang kewalahan tetap meletakkan makanan mereka di tempat makanan warna-warni yang diletakkan di teras rumah dengan sabar. Tak jarang mereka berebut dan menyantap makanan dari mangkuk yang sama sampai akhirnya dipisahkan oleh Sofia. Kesukaan Sofia memberi makan kucing-kucing liar memang sudah tersebar di kalangan para kucing. Ketika mereka datang pertama kali, mereka akan malu-malu dan pergi menjauh walaupun di hadapannya sudah ada setumpuk makanan kering. Dan setelah Sofia tidak terlihat, mereka akan mulai berdatangan dan melahap makanan itu sampai tidak tersisa. Namun itu dulu, sekarang mereka sudah menjadi kucing yang sangat pemberani, bahkan bisa dibilang tidak sopan.

"Hei, Emong, seharusnya kau disini," ucapnya sambil menggeser Emong menuju tempat makan yang tidak bertuan. "Jangan berebut makanan dengan Beki."

Emong menuruti perkataan Sofia, dan kini ia makan di tempat makannya sendiri. Melihat mereka dari dalam rumah membuatku ingin tertawa karena kucing-kucing yang terkenal garang itu kini berbaris sejajar mengikuti tempat makan plastik yang sudah diisi makanan. Mereka makan dengan lahap dan Sofia melihat mereka sambil kadang mengelus tubuh mereka dengan halus.

Kucing-kucing liar yang suka makan di rumah kami semuanya memiliki nama. Nama itu diberikan oleh Sofia sesuai dengan warna bulu mereka. Manusia selalu berkata bahwa kami hanya bisa melihat warna-warna tertentu, namun faktanya kami bisa melihat warna dengan baik. Seperti Openg, ia dinamakan Openg karena corak bulu berwarna hitam menutupi kedua mata dan membuatnya tampak seperti memakai topeng. Kami tertawa ketika Sofia memberikan nama itu, dan akibatnya Openg tidak datang ke rumah selama tujuh hari karena kesal dan malu. Butuh banyak permintaan maaf dari kami agar ia datang lagi ke rumah.

Lain lagi dengan Emong yang berasal dari kata cemong. Emong adalah seekor kucing jantan berwarna abu-abu dengan totol-totol hitam yang memenuhi seluruh tubuhnya. Dulu ia sangat malu dengan nama itu, tapi sekarang ia sangat percaya diri karena ia percaya bahwa warna bulunya adalah warna yang langka dan membawa keberuntungan. Bulunya berbeda dengan kami karena ia memiliki bulu yang panjang. Ia pernah bercerita bahwa sebenarnya ia pernah menjadi kucing rumahan dan pemiliknya adalah seorang kakek tua yang tinggal di ujung jalan. Semenjak kakek itu meninggal, ia tidak dirawat lagi oleh anak si kakek. Malah ia ditelantarkan begitu saja di komplek rumah kami dan pulang ke rumahnya hanya pada saat ia ingin saja. Sudah berkali-kali orang komplek ingin merawat Emong, namun hal itu tidak diijinkan oleh anak si kakek dengan dalih mereka adalah pemiliknya. Ya, mereka adalah pemiliknya yang tidak bertanggung jawab.

"Teman-teman!" Panggilanku membuat mereka menengok dan melihatku dengan tatapan yang tajam.

"Tunggu sebentar!" Ujar Openg sambil menatapku dengan matanya yang besar.

Lihat selengkapnya