Setelah perjanjian yang aku buat dengan Emong dan para kucing liar, aku dihadapi dilema dan kenyataan yang ada di hadapanku. Banyak suara-suara kecil yang terus bergentayangan dan berbisik, mengajak aku untuk membatalkan rencana gila itu. Bisa apa aku nanti jika aku tersesat? Toh kalau aku tersesat yang rugi adalah aku sendiri karena aku akan ditinggal Sofia dan seluruh keluarga. Aku juga tidak bisa menjamin apakah mereka akan datang dan menghabiskan banyak uang hanya untuk menjemputku. Semua gundah gulana itu akhirnya menuntunku pada satu kesimpulan, aku akan membatalkan rencana itu. Aku tidak akan bertemu mereka sampai hari keberangkatan kami, tidak peduli dengan apa yang akan mereka katakan.
"Pingku," panggil Sofia. "Makan."
Ah, ya aku harus menghampiri Sofia karena sekarang adalah waktunya makan malam. Aku berjalan keluar kamar menuju bawah tangga tempat mangkuk milikku diletakkan. Ruang tamu rumah ini sudah sangat kosong dengan hampir seluruh barang sudah dibungkus dan keluar dari dalam rumah. Kini hanya tersedia sebuah sofa hitam dan sebuah televisi yang menempel di dinding. Kalau dua barang itu sudah dibungkus mungkin artinya kami akan berangkat keesokan harinya.
"Bagaimana? Apa semua sudah beres?" Tanya Mommy.
Sofia, Mommy, dan Daddy sedang menyantap makan malam di atas meja makan yang tersisa di ruang makan. Kursi-kursi yang ada di sana disisakan hanya tiga buah untuk mereka bertiga.
"Ya, semua sudah beres. Passport, tiket, dokumen-dokumen untuk membawa Pingku, tempat tinggal kita disana juga sudah ada dan furniturenya sudah terisi. Kita hanya perlu datang mengisi rumah baru kita disana," jawab Daddy. "Dan kamu tidak perlu khawatir Pingku akan sesak tinggal disana, karena rumah kita yang baru memiliki taman belakang yang indah."
Aku mencuri dengar percakapan itu sambil menyantap makan malam. Betapa senangnya aku akan pindah menuju sebuah rumah yang memiliki taman belakang, bukan kolam renang. Aku muak selalu tercebur ke dalam kolam renang keluarga kami. Aku juga muak karena selalu meminta pertolongan jika aku tercebur karena aku tidak bisa berenang. Belum lagi dengan bulu yang basah terkena air, semua itu membuatku kedinginan.
"Kalau begitu, apakah nanti aku harus meninggalkan semua perlengkapan milik Pingku? Kupikir akan sangat merepotkan membawa kotak pasir beserta pasirnya. Mangkuk makanannya juga sudah jelek. Aku mau membeli yang baru sesampainya kita disana. Untuk keberangkatan besok paling aku hanya akan membawa pet cargo dan makanannya saja untuk di dalam pesawat."
"Iya, tinggalkan saja di sini, atau kamu bisa berikan ke orang-orang yang ingin memelihara kucing, atau buang saja. Bawa saja pet cargo, makanan secukupnya, dan satu mainan yang paling disukainya."
Apa? Mainanku akan ditinggalkan? Mangkuk ini juga? Pernyataan Daddy membuatku terkejut dan aku hanya bisa memandangi mangkuk hijau kesayanganku ini. Memang ia sudah jelek tapi aku sangat suka mangkuk ini. Mangkuk pertama yang diberikan Sofia dan masih aku gunakan sampai sekarang. Aku melihat Sofia dari kejauhan dan melihat mangkukku. Begitu terus sampai akhirnya aku tiba pada satu kesimpulan. Lebih baik mangkuk ini diganti saja, aku juga mau mangkuk baru yang lebih bersinar dan besar agar bisa menampung lebih banyak makanan.
Malam itu, seperti malan-malam sebelumnya, aku tidur di kasur milik Sofia. Kasur empuk nan lembut yang akan aku rindukan nantinya karena tidak mungkin kasur ini dibawa ke rumah baru kami. Aku meringkuk di sebelah Sofia yang sedang membaca sebuah buku.
"Sofia," panggilku.
Sofia diam dan tidak menggubris panggilanku. Dia tetap saja membaca buku sampai akhirnya ia beranjak dari tempat tidurnya. Ia meninggalkanku sendirian keluar dari alam kamar entah menuju kemana.
"Sofia aku ikut! Tunggu aku!" Panggilku.
Aku mengikuti pergerakan Sofia dan keluar dari dalam kamar, tapi sayang wujudnya tidak terlihat. Entah dia sedang berada di kamar mandi, atau sedang mengambil minuman di dispenser dapur kami. Tapi sekarang yang membuatku terdiam adalah betapa aku baru menyadari bahwa rumah kami sangatlah besar setelah semua barang diangkut oleh orang-orang. Meninggalkan sebuah ruangan kosong yang amat luas dengan tembok yang amat tinggi.
Biasanya aku akan menghindari semua barang-barang jika sedang berjalan di malam hari, tapi kini aku bisa berjalan dengan leluasa dan senang hati. Aku bisa berlarian tanpa takut menabrak sebuah piano besar yang berada di pojok ruangan, atau menabrak sebuah jam raksasa yang dentangannya bisa membangunkan seluruh kucing yang ada di komplek kami. Dan setelah semua barang itu pergi, aku juga bisa langsung melihat jendela tempat aku berdiam diri selama ini dari jarak jauh. Jendela itu biasanya terhalang oleh sebuah partisi yang membatasi antara ruang tamu dengan ruang keluarga.
Aku berjalan menuju jendela itu dengan leluasa dan dengan sedikit lompatan kecil aku berhasil mencapai tempat duduk-duduk yang biasanya aku tempati, walaupun aku harus menyibak tirai putih yang sekarang menutupi jendela itu. Malam ini dari tempat duduk favoritku, tidak ada pergerakan apapun di luar sana. Tidak ada kucing yang berkumpul meminta makanan atau tidur di teras. Malam ini sangat sunyi dan senyap.
"Psst... Psst.... Pingkuy" Sebuah suara memanggilku. Suara itu sangat kecil hingga bisa disebut dengan bisik-bisik. "Pssssst."
Aku melihat ke seluruh tempat dan tidak menemukan siapapun. Para kucing liar itu tidak terlihat di pot bunga, teras, bahkan aku juga tidak melihat siluetnya dari balik pagar yang sudah tertutup rapat. Tapi suara bisikan itu selalu memanggilku dengan pelan. Kutempelkan wajahku ke kaca jendela mencari sumber suara itu.
"Wa!"