Sofia memang sudah dewasa, umurnya kini delapan belas tahun, tapi kehidupannya sangat membosankan. Disaat anak seumurannya bermain, berkumpul di sekolah, dan mendengarkan pelajaran bersama-sama, yang ia lakukan hanyalah duduk diam di rumah sambil mendengarkan pelajaran yang diberikan oleh guru yang datang. Sofia tidak memiliki teman untuk mengobrol, kecuali Mbak Surti, asisten rumah tangga sekaligus yang mengajarkannya Bahasa Indonesia.
"Aku ingin sekolah ke International School saja," keluhnya kepada Mbak Surti menggunakan Bahasa Indonesia dengan logat Inggris yang kental.
"Memangnya Sofia berani bilang sama Daddy?" Tanya Mbak Surti.
Ya, Sofia takut dengan ayahnya. Persepsi tentang anak tunggal yang dimanja kedua orang tua adalah persepsi yang tidak akan ditemukan di keluarga Sofia. Kedua orang tuanya adalah orang yang keras, terutama mengenai pergaulan Sofia karena mereka adalah keluarga diplomat yang sedang bertugas.
"Jangan melakukan kesalahan, karena yang nantinya akan dicap buruk bukan hanya keluarga, tapi juga negara kita," begitu kira-kira yang selalu ditekankan oleh kedua orang tuanya.
Masih jelas di ingatan Sofia ketika menonton berita tentang anak dari seorang diplomat negara tetangga yang ketahuan mengendarai mobil sambil mabuk. Anak itu kemudian menabrak seorang pengendara motor dan meninggalkannya begitu saja di pinggir jalan. Beritanya sangat besar dan membuat seluruh keluarga diplomat itu diusir. Tidak hanya diusir, keluarga korban juga menuntut pertanggung jawaban dari kedutaan dan proses hukum untuk si anak diplomat. Semua tuntutan dikabulkan namun belum berhasil meredakan amarah warga yang terus memberikan cacian dan makian.
Kejadian itulah yang membuat keluarga Sofia semakin memperketat pergaulan Sofia agar tidak mencoreng nama baik mereka. Dan hal itulah salah satu penyebab hidup Sofia menjadi sangat membosankan.
Tapi hidupnya berubah ketika ia memiliki mainan baru. Sore itu, ketika Sofia sedang memandang hujan yang turun dari jendela rumahnya, ia mendengar suara seekor kucing kecil yang berteriak minta pertolongan. Suara itu sangat kencang, bahkan mengalahkan suara gemuruh air hujan yang turun. Dengan sigap Sofia membuka pintu rumahnya untuk mencari sumber suara dan ia sangat terkejut ketika melihat seekor kucing hitam kecil yang terselip diantara pot-pot bunga. Kucing itu sangat rapuh, tubuhnya basah, dan bahkan belum membuka kedua matanya. Khawatir akan hujan yang turun makin deras, ia mengangkat kucing itu dengan hati-hati.
"Ayo kita masuk ke dalam," ucapnya.
Sofia membawa kucing itu masuk ke dalam kamar dan mengeringkannya menggunakan hair dryer dengan hati-hati. Suara hujan, hair dryer, dan suara tangisan kucing itu kini memenuhi seluruh kamar Sofia.