"Jangan berpikir jika kau ini manusia yang suci. Keburukan akan selalu meninggalkan jejak. Bahkan sampai kau mati."
Kata-kata Tuti menancap bagai paku di hatiku. Baru saja aku ingin memutuskan untuk bergabung dengan ibu-ibu PKK yang akan melakukan kegiatan sosial di kampung kami. Namun urung saat Tuti mencegahku tanpa ampun.
"Apa yang salah dengan niatku, Tut?"
Kali ini Tuti menusukku dengan tatapannya yang tajam. "Hanya aku yang bisa menerimamu tanpa memandang orang seperti apa kau dahulu."
Raja terus merengek di pangkuanku, suaranya serak karena terlalu lama menangis.
"Tuh! Mengurus anak saja kau tidak benar," Tuti mendesah panjang. "Aku bahkan tidak yakin, apakah kau sungguh-sungguh menyayangi Raja."
Secepatnya Tuti meraih Raja dari pangkuanku dan mulai menggendongnya, nalurinya sebagai seorang ibu benar-benar membuatku iri. Hanya sekian menit setelah Tuti menggendong Raja, bocah kecil itu mulai diam dan tertidur dalam gendongannya.
Setelah Tuti dan anakku pergi ke kamar, aku berjalan menuju jendela. Mataku masih menangkap gerombolan ibu PKK di ujung gang. Perlahan aku mulai menyesali apa yang baru saja kuharapkan: bergabung dengan ibu-ibu PKK dan melakukan kegiatan bermakna seperti tujuan mereka yang sebenarnya. Padahal, tanpa bergabung dengan mereka, toh aku juga masih bisa menunjukkan eksistensiku. Jauh sebelum ini aku pernah merasakan bagaimana menjadi seorang ratu. Dan untuk apa aku harus menyiksa diriku untuk menaikkan kasta sosial jika tanpa harus naik kelas saja aku sudah memiliki segalanya?
***
Rumah Bordil Ferdi, dua tahun yang lalu.
Kami menamainya Gang Perjuangan pada siang hari dan berubah nama menjadi Gang Surga pada malam hari. Tidak ada kehidupan di gang itu pada siang hari. Sebaliknya, pada malam hari suasananya melebihi pasar tradisional yang ada di pusat kota.
Gang Perjuangan adalah jalan buntu yang disulap indah bak kerlip bintang yang hanya bisa dinikmati pada malam hari. Sepanjang jalan dari ujung gang terdapat lampu warna-warni yang indah. Sementara di ujung gang buntu tersebut, terdapat ruko dua pintu yang memiliki dua lantai yang disulap seperti cafe murahan. Sebuah meja resepsionis terdapat di ujung teras yang berhadapan langsung dengan ruang tunggu yang sederhana. Inilah tempat singgah 'nikmat' yang pas bagi para pencari kepuasan di sepanjang Jalan Lintas Sumatera.
"Cantik sekali monza-mu hari ini, San! Beli di mana tuh?"
Aku menatap pemilik suara dengan sarkastis. "Bukalah mata sesekali, kemudian perhatikan dengan teliti. Apa pantas kau menyebut ini murahan?"