Pada malam saat kematian Fandi, aku pulang bersimbah air mata. Meski hanya berkencan satu malam dengannya, kebaikan lelaki itu telah membekas di hatiku. Kuakui, sebelumnya aku tidak pernah melibatkan perasaan dengan lelaki manapun yang berkencan denganku. Sepanjang malam kuhabiskan di kamar rumah kontrakan hanya untuk menyesali apa yang telah terjadi. Aku memang sangat membutuhkan uang Fandi, karena dengan uang itu, aku bisa melakukan apa pun. Namun, malam itu perlahan kusadari, jika lelaki itu telah mencuri hatiku. Untuk apa aku harus berdandan maksimal malam itu tanpa kusadari? Untuk apa aku harus rela menunggu Fandi sementara ada banyak lelaki yang mau kukencani malam itu? Dan yang lebih penting lagi, untuk apa aku harus menangis dan terluka saat mendapati Fandi tak lagi bernyawa?
Aku duduk di atas ranjang, kamar tidurku. Di sebelahku Tuti sudah lelap sedari tadi. Malam ini sengaja aku tidak datang ke cafe. Ferdi bahkan menghubungiku berkali-kali, namun aku tidak berniat untuk mengangkat panggilan mucikari itu.
Hujan di luar menari serupa tarian tanpa aturan. Aku merengkuh lutut sembari memikirkan apa yang telah terjadi. Malam ini harus kuputuskan untuk tidak melibatkan perasaan lagi untuk urusan pekerjaan ini. Cukup saja aku menghasilkan uang. Itu akan jauh lebih ringan.
Malam ini aku berdiri di depan kaca. Kutekankan pada diriku sendiri bahwa aku pasti bisa.
***
Malam berikutnya, aku tiba di cafe lebih awal. Saras bahkan belum menunjukkan batang hidungnya. Di meja resepsionis kutemukan Ferdi tengah menceramahi Rita dengan gayanya yang melebihi Merry Riana.
Saat menyadari aku telah tiba, Ferdi datang menghampiriku. "Kau sudah tahu apa yang terjadi, San?"
"Tentang?"
"Tentang Fandi. Hari ini, tiga orang polisi datang kemari mencari keterangan. Mereka menemukan barang haram dalam mobil lelaki itu. Aduh! Pusing deh kalau kau terlibat dengan barang haram itu!" terang Ferdi, gaya bicaranya melebihi wanita cantik yang sedang maskeran di salon.
Wajahku tegang. Aku tidak percaya kalau Fandi mengonsumsi barang terlarang itu. Selama bekerja sebagai penghibur malam, aku kerap bertemu para lelaki hidung belang yang menggunakan barang terlarang tersebut. Bahkan ada yang terang-terangan menggunakannya sebelum menjalani kencan. Namun, tidak sekalipun aku tertarik untuk menggunakannya.
"Mengapa kau diam saja, San? Kau tidak terlibat, kan?" Ferdi menatapku tajam, baru kali ini aku melihatnya beringas seperti lelaki sesungguhnya.
"Tentu saja tidak. Aku hanya butuh uangnya."
"Bagus!" Ferdi mengacungkan jari jempol di udara. "Hari ini aku punya tamu istimewa untukmu. Jauh lebih perkasa dibanding Fandi."
Aku mengerutkan kening. "Siapa?"
Ferdi mengerlingkan mata, seolah mengisyaratkan jika tamu kali ini tidak akan mengecewakan. "Yang penting kau harus berbaik hati padanya," pesan Ferdi.