Benar kata Ferdi, tamuku malam tadi tidak mengecewakan. Menurutku, Koh Abeng benar-benar luar biasa. Pria itu tahu bagaimana memperlakukan perempuan. Dengan kata lain, Koh Abeng tidak egois. Di ujung kencan, kami sama-sama tersenyum puas. Namun tidak ada janji untuk bertemu kembali.
Pagi ini, seluruh organ tubuhku rasanya remuk, ngilu. Aku bangkit dari tempat tidur serta memungut satu demi satu pakaian yang telah tergeletak di sembarang tempat.
Koh Abeng sudah pergi dari beberapa jam yang lalu. Pria itu juga sepertinya memiliki nilai sopan santun yang baik, karena sebelum pergi Koh Abeng masih sempat pamit dan mengecup keningku, lembut. Dan, tidak lupa sesuatu yang mendekam dalam amplop cokelat yang diletakkannya di atas nakas. Sesuatu yang memang kupikirkan dari tadi malam.
Saat teringat akan isi dalam amplop tersebut, sebuah senyum terbit di bibirku. Kuraih amplop tersebut dan merogoh isinya.
Aku tersenyum. Isinya lumayan meski tidak sebesar pemberian Fandi.
Aku bergegas mengenakan pakaian dan berjalan menuju pintu. Suasana tempat ini persis seperti tanah pemakaman: sepi. Saat keluar dari kamar, aku berniat menuju toilet yang mendekam tidak jauh dari kamar 05. Sekujur tubuhku terasa tidak nyaman. Kelelahan atas pekerjaan nikmat itu baru kurasakan pagi ini.
Saat hendak memasuki toilet, langkahku tertahan di depan pintu, suara gemercik air yang keluar dari balik keran seperti tertandingi oleh suara lain yang mengganggu. Suara isak tangis yang tertahan--tidak puas.
"Saras!"
Wanita itu memalingkan wajah, sekujur tubunya basah. Penampilannya benar-benar berantakan. Maskara murahan yang dikenakannya melebur seperti cairan lahar yang berlomba menuju kaki gunung.
"Apa yang terjadi, Ras?"
Mulutnya masih terkunci.
"Masalahmu tidak akan berakhir jika kau tidak mau bicara," ucapku tegas.
"Apa pedulimu?"
Aku mengembuskan napas panjang. "Aku memang wanita penghibur, Ras. Namun sebagai sesama wanita, aku masih punya hati. Kau tahu, bisa saja aku tidak peduli."
Entah apa yang dipikirkannya setelah itu. Perlahan, Saras menatap mataku, kurasa dia ingin menemukan keyakinan di sana. "Aku sakit, San!" ucapnya. Tangisnya kembali pecah.
Aku memeluk Saras. "Maksudmu?" Aku mencoba bertanya selembut mungkin hingga tidak terdengar menekannya dan memastikan jika suaraku tidak terkesan menghakiminya.
"Aku sakit di bagian ini," ucap Saras seraya menunjukkan sesuatu di balik rok mininya. "Aku mulai merasakannya setelah berkencan dengan Robi untuk yang ketiga kalinya."