Langit sore itu tampak begitu tenang, seolah menunggu sesuatu yang akan tiba. Angin lembut berembus di sela-sela pepohonan pesantren, membawa aroma tanah basah yang menenangkan. Di beranda asrama, seorang gadis duduk dengan buku lusuh di pangkuannya. Tinta di ujung penanya mulai mengering, tapi pikirannya terus menari di antara kata dan doa.
Namanya Alyaa. Bagi sebagian orang, ia hanyalah santri biasa, pendiam, tenang, dan terlalu sering menatap langit setiap kali selesai shalat. Namun di balik diamnya, tersimpan lautan kata yang tak pernah berhasil ia ucapkan. Ia menulis untuk berbicara, menulis untuk memahami, menulis agar dunia tahu, bahwa tidak semua yang diam berarti tidak merasa.
Di tempat lain, jauh di antara kabut pegunungan, Rafa sedang menapaki jalur curam dengan langkah teguh. Tangan kirinya menggenggam erat sebatang bunga edelweis kering yang ia simpan di saku jaketnya. Setiap kali napasnya tersengal, ia menatap langit dan mengulang pelan sebuah kutipan dari media sosial yang sudah lama menemaninya: