Langit sore di pesantren selalu memiliki caranya sendiri untuk menenangkan hati.
Di sela-sela suara santri kecil yang mengaji di langgar, bayangan matahari merunduk perlahan di balik pucuk kelapa. Udara mengandung aroma tanah basah dan suara jangkrik mulai menggantikan kicau burung yang kembali ke sarang.
Di serambi pondok putri, seorang gadis duduk bersila dengan buku catatan tua di pangkuannya.
Kertasnya kekuningan, ujungnya sedikit mengelupas, dan ada bekas tinta yang menembus ke halaman belakang. Namun di situlah semua isi hatinya tertuang, dalam tulisan yang hanya ia dan langit yang tahu.
Namanya Alyaa.
Santri yang tak banyak bicara, namun semua orang tahu betapa dalam pikirannya bekerja. Ia seperti hujan yang datang tanpa suara, tapi meninggalkan kesejukan setelahnya.
Jari-jarinya yang ramping menggenggam pena hitam. Setiap kali ia menulis, gerakannya lembut seperti menenun. Di hadapannya, halaman yang hampir penuh dengan tulisan reflektif berjudul “Tentang Sunyi yang Tidak Selalu Sepi.”
Ia menulis pelan.
"Kadang, diam bukan berarti tak ingin bicara. Hanya saja, ada hal-hal yang lebih indah disampaikan lewat doa daripada kata."
Sebuah hembusan angin sore membuat beberapa helai rambutnya terlepas dari jilbab yang dikenakannya. Ia merapikannya dengan ujung jari, lalu kembali menatap langit yang mulai berwarna ungu lembayung.
“Waktu selalu terasa melambat di pesantren,” gumamnya lirih. “Tapi mungkin, memang begitulah caranya Allah mengajarkan sabar.”
Dari kejauhan, suara santri-santri kecil terdengar berlarian menuju tempat wudhu. Tawa mereka pecah, kadang diiringi cipratan air yang sengaja mereka lemparkan satu sama lain. Di antara mereka, ada satu sosok yang membuat Alyaa tanpa sadar berhenti menulis.
Rafa.
Ia sedang membantu seorang santri kecil menimba air dari gentong besar di dekat sumur. Kaosnya basah sebagian, dan wajahnya dibingkai cahaya jingga yang jatuh dari arah barat. Ia tertawa kecil ketika air menyiprat ke arah wajahnya, tapi tangannya tetap sigap memastikan santri kecil itu tidak tergelincir.
Alyaa menatapnya dalam diam.
Ada sesuatu yang sulit dijelaskan setiap kali melihatnya. Bukan kekaguman, bukan juga rasa yang bisa dinamai. Mungkin lebih tepat disebut ketenangan yang menular.
Rafa adalah santri pesantren yang sama, namun dikenal karena keteguhan dan kesederhanaannya. Ia tidak pernah banyak bicara tentang dirinya. Yang lain tahu, ia berasal dari keluarga sederhana di kaki gunung, tempat sawah membentang luas dan udara lebih dingin daripada di sini.
Ia jarang terlihat di keramaian, tapi selalu hadir di tempat yang sunyi. Di sawah belakang ketika pagi, di musala setelah Isya, atau di tepi sumur menjelang maghrib seperti sekarang.