Naya mengambil mik dengan terpaksa saat bundanya terus-menerus mendesaknya mengucapkan sepatah dua patah kata untuk memberikan selamat atas pernikahan Padma, kakaknya. Sesungguhnya, Naya hanya ingin semuanya cepat berakhir. Makan malam pernikahan setelah resepsi berakhir siang tadi di gedung membuatnya tidak habis pikir, terbuat dari apa stamina orang-orang ini? Terutama keluarganya sendiri. Bisa-bisanya setelah menghabiskan waktu berjam-jam menyalami orang-orang yang datang memberi selamat, basa-basi dengan tamu, mondar-mandir memastikan menu prasmanan, souvenir, minuman terdistribusi dengan sempurna, mereka masih punya energi mengadakan makan malam pernikahan untuk anggota keluarga.
Kini puluhan lebih pasang mata tertuju padanya, berharap Naya akan mengucapkan sesuatu yang mengharukan sebagai adik pengantin wanita. Ekspektasi yang melelahkan untuk seseorang yang bahkan tidak tidur semalaman sebelumnya karena perjalanan ke Kota Malang ini sendirian dari Yogyakarta dengan naik bus membuatnya serasa seperti korban perang. Yang dibutuhkan adalah istirahat dan pengobatan, bukan pidato kemenangan. Sekalipun pernikahan ini tidak ada hubungannya dengan Naya merasa telah menang.
Ah, tapi... Sedikit saja, rasanya situasi ini terasa menyegarkan baginya. Kakak perempuan satu-satunya yang selalu melibatkan Naya ke dalam masalah, selalu memanfaatkannya, meremehkannya, hari ini telah menemukan pendamping hidupnya. Artinya, dalam hidup Naya, drama keributan dengan Padma akan jauh lebih berkurang. Kalau itu yang disebut kemenangan, yah mungkin tidak buruk juga.
"Nay, gek ndang ngomong lho..." tegur Bunda tidak sabaran. Naya makin merasa tidak punya pilihan.
Ditatapnya satu persatu wajah semringah yang ada di ruangan ini. Termasuk sepasang pengantin Padma dan sosok laki-laki yang baru disahkan sebagai suaminya pagi ini. Taplak meja linen dengan motif tribal yang ada di depannya membuatnya ingin menelungkupkan kepala di bawahnya saja.
"Enggg... Ngomong apa ya?" gumam Naya, menggaruk kepalanya yang entah gatal karena seharian harus rela dipajang di gedung berkapasitas 7000 orang dengan sasak nan berat di kepalanya atau saking pusingnya memikirkan kata apa yang tepat untuk menggambarkan isi hatinya.
"Ngomong kamu lebih seneng mbakmu jomblo atau jadi istri orang?" celetuk Tante Hanung, adik dari Bunda dengan gaya ceplas-ceplosnya yang membuat seisi ruangan tersenyum. Ucapan tantenya yang anak bungsu di keluarga Bunda itu sama sekali tidak membantu. Sampai akhirnya Naya memutuskan untuk mengucapkan apa yang ada di dalam kepalanya saja.
"Sebetulnya saya bingung kalau disuruh ngomong di depan kayak gini karena biasanya, saya lebih sering disuruh diam, apalagi sama Padma."
Diam seisi ruangan. Namun ada satu orang yang tertawa, yaitu Haykal, adik bungsunya. Satu-satunya orang di dunia ini yang paling menikmati penderitaan Naya. Pemuda berusia 19 tahun itu memberi isyarat yang dimaksudkan untuk meledeknya dengan memperlihatkan gestur 'kesian deh, loe'. Dan gestur itu secara harfiah memang mengasihani nasib Naya yang entah bagaimana selalu terjebak dalam posisi tahu segala aib Padma tapi tidak bisa membeberkannya pada siapa pun terutama kedua orangtuanya karena Padma selalu memintanya untuk tutup mulut atau justru menyogoknya.
Dilihatnya sorot mata Padma yang seakan menusuk tajam tepat ke arahnya. Seolah mengancam jika Naya bicara lebih banyak ketimbang yang diperlukan. Yah, tentu saja... Selelah apapun dirinya, tidak akan menjadikan alasan dia boleh sembarangan bicara tentang Padma, terutama di hari yang penting bagi kakaknya itu.
Kini kakak perempuannya yang berparas jauh lebih cantik dari Naya itu sudah mengakhiri petualangan cintanya dan menemukan seseorang yang terpilih menjadi pendamping hidup. Tidak ada hal yang lebih melegakan ketimbang itu dan Naya bertekad tidak akan merusaknya.
"Banyak yang bilang kami ini kayak anak kembar. Saya dan Padma... ah maaf kalau kesannya saya nggak sopan manggil tanpa embel-embel 'Mbak', tapi kami yang beda dua tahun ini entah bagaimana orang mengira kami seumuran. Bunda dan Ayah juga nggak tahu sejak kapan terus membelikan kami pakaian yang nyaris sama bak anak kembar. Tinggi badan kami juga sama, termasuk juga selera baju, pita dan makanan favorit kami juga sama. Dan sejak kecil saya juga merasa kalau kami ini sama-sama cantik, tapi ternyata itu cuma khayalan saya karena makin gede, orang-orang cuma memuji kecantikan Padma, bukan saya."