6 Bulan Kemudian
Aku mungkin banyak menyesali keputusan-keputusan bodoh yang kerap kuambil hanya karena alasan dangkal. Kuliah di Yogyakarta mengira aku mungkin bisa bebas di kota itu, di mana aku nggak akan akan menjumpai teman-teman alumni sekolahku yang kuanggap menyebalkan. Atau memutuskan mengambil Fakultas Ekonomi hanya karena jurusan itu yang paling banyak diminati oleh orang-orang yang juga masih labil perkara minat dan keinginan yang motif untuk ikut ujian cuma supaya masuk ke universitas negeri bergengsi. Jurusan yang bisa kumasuki dengan otakku yang pas-pasan, SPP murah dan nggak membebani kedua orangtuaku yang sudah kewalahan membiayai Padma kuliah di universitas swasta yang serba mahal.
Kedua hal itu kini menelanku hidup-hidup dan berbalik menyulitkanku. Dengan aku yang masih sering dipanggil pulang ke Malang, kadang setiap minggu atau dua minggu sekali aku terpaksa menempuh perjalanan pulang lebih dari delapan jam dari kota gudeg ini. Ditambah aku terlalu malas untuk mengulang ujian masuk PTN hanya supaya aku bisa pindah jurusan atau kampus sekalian. Namun, meski begitu… aku tidak terlalu memikirkannya karena sekalipun aku kesulitan, masih banyak hal menyenangkan yang terjadi padaku. Atau setidaknya itu yang aku pikirkan sampai akhirnya aku menerima berita paling konyol siang ini.
Bunda meneleponku dan mengatakan sudah sebulan Padma nggak pulang ke rumah yang dia tempati bersama suaminya. Sama sepertiku, Bunda dan Ayah juga baru mengetahuinya baru-baru ini karena Mas Ridho, suami Padma baru berani melaporkan tindakan istri ke ibu mertuanya.
“Terus kalau Padma nggak pulang ke rumah lakinya, dia ke mana emangnya, Bun?”
“Itulah, Nay… Bunda udah berusaha nyari dan nelponin teman-teman Padma, mereka semua nggak tahu Padma di mana, tapi beberapa pernah ketemu Padma di Malang. Malahan ada yang bilang… Padma pernah kelihatan jalan sama Gio.”
Suara Bunda terdengar begitu berat dan penuh sesal. Gio yang baru saja disebut namanya adalah nama mantan pacar Padma sebelum putus dan akhirnya menikah dengan laki-laki lain. Saat itu aku menyadari, perginya Padma bukan lagi perilaku yang bisa diwajarkan dari sosok yang kini sudah berstatus istri seseorang.
Namun, aku berharap aku tidak perlu mengutuk Padma dengan mengatakan bisa saja Padma mengalami hal yang buruk atas perlakuan suaminya makanya kakakku itu kabur dari rumah. Namun, Bunda dengan tegas membantahnya. Masalah ini sudah sampai ke telinga besan Bunda yang kini tinggal di Jepang. Tante Suci, ibu Mas Ridho yang kini menikah lagi dengan warga kebangsaan Jepang juga sempat bicara dengan Bunda dan berusaha membela putranya andai ada tuduhan bahwa putranya melakukan kekerasan pada Padma. Wanita itu menegaskan, Ridho sang putra adalah lelaki lembut hati yang nggak pernah tega menyakiti siapa pun, bahkan serangga sekalipun. Yang artinya tuduhan KDRT nggak boleh dialamatkan pada Mas Ridho yang sudah begitu mengkhawatirkan Padma, bahkan ingin membawa Padma tinggal di Jepang supaya istrinya itu nggak perlu repot-repot bekerja.
“Bunda nggak tahu lagi mesti gimana. Gara-gara ini jantung ayahmu kumat lagi. Apalagi sebelum geger-geger Padma kabur dari rumah, Gio terus-terusan meneror ponsel ayahmu. Dia nggak terima dirinya direndahkan sama keluarga kita dan terus-terusan bilang kalau dia sudah berkorban banyak buat Padma. Dia nggak terima Padma menikah sama laki-laki lain dan bukannya dia.”
“Astaga, Bunda… kenapa baru bilang?” tanyaku makin bingung.
“Sebenarnya, malam sebelum mbakmu menikah, Gio sempat meneror Padma dan Bunda dan bilang bakal ngancam akan merusak pernikahan mbakmu, tapi Om Prisma yang waktu itu bantu-bantu ayahmu, mau bantu Bunda buat nanganin Gio. Entah gimana caranya, malam itu Om Prisma berhasil menekan emosi Gio dan besoknya pernikahan mbakmu lancar tanpa halangan. Bunda pikir semuanya udah selesai, tapi nggak tahunya malah jadi begini…”
“Terus, aku mesti gimana, Bun? Bunda meneleponku nggak mungkin cuma mau ngabarin soal kondisi Padma, kan?”