NAMASTE!

Handi Namire
Chapter #3

Chapter 2

Sewaktu masih muda, aku pernah sangat menyukai satu film yang diperankan Lindsay Lohan, The Parents Trap. Lucunya, aktris yang masih cilik itu berperan ganda memerankan dua saudara kembar identik dengan karakter yang saling bertolak belakang. Selain freckles di wajah Lindsay kecil yang membuat perhatianku terdistraksi, film itu sangat menghibur dan membuatku ketagihan menonton berkali-kali. Bukan, bukan karena akting pemeran wanita calon ibu tiri si kembar yang begitu kocak dan meyakinkan sebagai perempuan jahat, melainkan hanya melalui film itu aku bisa membayangkan hubunganku dengan Padma akan memiliki takdir yang brilian. Kami begitu berbeda, tapi akan sangat menyenangkan kalau kami kompak dan saling melengkapi. Dengan begitu, semua rintangan kami akan dengan mudah kami singkirkan.

Lalu aku menyadari, bahkan setelah aku dan Padma dewasa, hubunganku dengan kakak perempuanku itu nggak pernah kompak dan saling melengkapi. Gap di antara kami terlalu jauh dan sulit untuk kami saling mengisi. Lambat laun aku menyadari aku lebih seperti tokoh Rose dan Padma mirip Maggie di awal-awal film In Her Shoes yang diperankan dua aktris Hollywood Toni Colette dan Cameron Diaz. Aku bersimpati dengan Rose dan kesal dengan Maggie yang manja dan terlalu bergantung pada laki-laki dengan modal kecantikannya. Ketika pada akhirnya Rose memilih menerima Maggie sebagai bagian dari hidupnya yang nggak sempurna, aku masih berharap aku bisa menerima Padma sebagai bagian dari keluargaku yang penting nggak peduli seabsurd apa pun tingkahnya. Sekaligus sebagai orang yang ingin aku lindungi kebahagiaannya.

Tapi, bagaimana caranya? Ketika setiap kali aku terlibat terlalu dalam urusan Padma, aku selalu mendapati ubun-ubunku mendidih dan emosiku meluap-luap. Seperti malam ini.

“Nay!” panggil Alex ketika langkahku sudah menginjak sebuah kelab malam yang disebut-sebut di percakapan Alex dan Gio belum lama ini. Tempat di mana Padma sering terlihat menghabiskan malam hingga pagi hari. Dari semua tempat, kenapa Padma harus memilih tempat dugem untuk menyendiri? Apa sebenarnya kakakku itu nggak pernah berniat untuk introspeksi?

“Nay, tungguin… Ini tuh kelab malam. Kalau lo meleng dikit aja, lo bisa dicekokin minuman keras dan dibawa ke hotel sama stranger tahu?” sahut Alex yang akhirnya menarik lenganku supaya aku nggak nyelonong makin jauh.

“Kalau lo jadi gue, memangnya lo bisa tenang? Ada laki-laki pecundang yang ngatain Padma kalau dia hamil sama laki-laki yang bukan pacar atau suaminya sampai aborsi? Gue dari dulu nggak pernah suka sama Gio yang arogan dan tukang maksa, tapi baru ini gue bersyukur Padma nggak pernah milih dia jadi suaminya.”

“Nay… lo yang sabar dong. Nggak pake emosi juga buat nanggepin Gio. Dia pihak yang sakit hati karena ditinggalin Padma setelah tiga tahun pacaran. Lo juga belum bisa buktiin omongan dia itu sepenuhnya salah.”

“Dan lo juga belum bisa buktiin kalau omongan dia benar!” tukasku gusar. Suara dentuman musik makin menghantam gendang telingaku, membuat darahku makin naik ke kepala. Aku nggak ingin membuang waktu lagi untuk berdebat dengan Alex. Satu-satunya misiku datang kemari adalah membuktikan ucapan Gio bahwa Padma nggak akan mendatangi tempat macam ini di tengah-tengah badai yang menimpa rumah tangganya.

Hanya saja… kenapa? Tuhan nggak pernah mengizinkan segala sesuatu berjalan sesuai keinginanku?

Kakiku melewati lorong yang menghubungkan area lobi dan sebuah ruangan luas terbuka dengan campuran aroma parfum, alkohol, dan rokok yang seakan menyerap kadar kewarasanku. Di sebuah lantai dansa yang sebagian dipenuhi manusia-manusia setengah teler, aku mendapati Padma tertawa-tawa sembari menggoyangkan tubuhnya. Di depannya, seorang laki-laki melingkarkan lengan di pinggul Padma dan mereka berdua berjoget dengan gerakan yang membuat darah di kepalaku makin bergolak.

“Cewek bego!” ucapku geram, menghampiri keduanya dan tanpa tedeng aling-aling menarik lengan Padma dan mendorong laki-laki mesum itu menjauh.

Keributan kecil yang kusebabkan membuat laki-laki teman Padma itu terdorong dan menubruk para clubbers yang tadinya sedang asyik bergoyang. Laki-laki itu sontak marah, tapi aku nggak cukup peduli untuk meladeninya. Aku biarkan Alex yang menangani ribut-ribut di lantai dansa sementara aku dengan cepat membawa Padma keluar dari tempat yang makin lama makin bising.

“Nay? Naya? Ngapain kamu di sini?”

Aku bersyukur, Padma nggak cukup mabuk dan akhirnya mengenali adiknya sendiri yang sudah lima menit menarik lengannya menuju lobi dan kini lanjut berjalan ke parkiran.

“Nay, lepasinnn… sakit ini tanganku…” rintih Padma, berusaha melepaskan tangannya dari cengkeramanku. Di belakang, Alex berlari menyusul dan membukakan pintu mobil. Aku mendorong tubuh Padma yang terlalu lemah untuk melawan karena pengaruh alkohol, ke kursi di belakang. Aku memberi isyarat sekilas untuk Alex supaya memberikan waktu kami bicara secara privat. Alex mengangguk dan menyingkir dari mobilnya sendiri.

“Adikku yang manis, harusnya kamu bilang ke mbakmu ini kalau mau main ke Malang, kan aku bisa jemput kamu, terus kita main bareng…”

Padma menangkupkan dua tangannya ke wajahku. Adalah jurus andalannya bersikap luar biasa manis ketika aku sedang dikuasai amarah.

“Kamu masih bisa bersikap masa bodoh setelah semua yang udah kamu lakukan, Ma? Kamu nyadar nggak sih, kamu bukan anak SMA lagi, kamu tuh ISTRI ORANG!”

Padma berdecak, “Cih, kamu udah nggak seru.”

“Padma!”

“Aku nggak pernah suka sama bicara kamu yang selalu remehin aku, padahal aku ini mbakmu. Kakakmu.”

Lihat selengkapnya