Tadinya aku nggak pernah curiga dengan harga sewa ruko yang kudapatkan untuk membuka usaha salonku. Terlalu murah dan jauh di bawah harga pada umumnya. Kupikir, harga murah yang kudapatkan harus ditebus dengan kenyamanan tinggal. Aku berandai-andai ruko itu bekas TKP pembunuhan atau tempat seseorang bunuh diri yang menjadikannya berhantu ataupun angker. Namun, setelah beberapa lama, aku menyadari tak ada hal-hal aneh yang kualami selama tinggal. Aku bisa tidur nyenyak dan Nandi juga betah bermain-main di sekitar kompleks ruko yang berdampingan dengan kompleks perumahan warga. Aku bertekad jika salonku ini untung besar, salah satu orang yang harus kuberikan ucapan terima kasih adalah sosok pemilik ruko yang sudah berbaik hati memberikan harga murah dan nggak pelit memberikanku perabot ekstra yang jelas kubutuhkan.
Namun, siapa sangka kalau pemilik ruko yang sangat ingin kuhadiahkan ciuman terima kasih berwujud sesosok perempuan yang bertahun-tahun kuhindari. Dan, sialannya aku baru mengetahuinya detik dan menit ini juga.
”Kenapa lo kaget begitu? Lo nggak mungkin dapat sewa murah karena pemiliknya adalah pengusaha properti yang baik hati yang bermurah hati cuma karena lo itu seorang single mother, bukan?”
Melihat Padma lagi setelah bertahun-tahun aku mengabaikan semua pesan dan panggilannya membuat harga diriku seketika merayap lebih rendah dari kutu. Kenapa? Kok bisa perempuan itu ada di kota ini? Nggak, sejak kapan dia tinggal di Yogyakarta? Terus, ada apa dengan logat bicaranya yang sangat jakartais itu? Segala pakai ‘lo-gue’, memangnya dia nggak ingat kalau dia besar di Jawa Timur sekitar Surabaya Malang?
”Kok… kamu bisa—ah, nggak, kamu ngapain ada di sini, Mbak?”
”Biasa aja dong lihatinnya, jangan kayak mau bunuh orang gitu,” goda perempuan yang entah sejak kapan berhijab rapi dan mengenakan gamis yang paling modis yang pernah aku lihat. Penampilannya seolah menyiratkan dia bukan dari kalangan orang biasa.
”Aku nggak ngerti niat Mbak apa dengan tiba-tiba datang kemari. Kalau soal sewa, semua kewajibanku udah aku bayarkan sampai dua tahun ke depan.”
”Hhhhh… lo itu nggak pernah ada ramah-ramahnya, kakak sendiri main ke rumah adeknya dikira mikirin urusan bisnis. Kalau staf lo nggak nyebut gue sebagai pemilik gedung ini, lo emangnya mau nemuin gue?”
Tentu saja enggak, tapi aku memilih diam supaya nggak timbul keributan.
”Mau minum apa?”
”Teh susu aja kalau ada,” ucap Padma santai.
”Nggak ada, Mbak.”
”Ya kalau gitu nggak perlu nawarin, adanya apa aja lo bawa sini. Kalau haus juga pasti gue minum, mau air kobokan juga,” candanya dengan wajah semringah sekalipun garing, sesuatu yang selalu coba dilontarkan perempuan yang sejatinya nggak pintar melucu tapi selalu ingin mencairkan suasana.
”Mbak sejak kapan di Yogya?”