“Gimana Naya?”
“Aman, udah Padma kasih tahu kalau kita pindah ke depan ruko dia, Bun. Cuma ya, tahu sendiri lah kalau Naya sama sekali nggak kelihatan happy. Gila ya, lama nggak ketemu napa dia jadi judes gitu sih?”
“Naya nggak kayak kamu yang easy going, hal kecil aja selalu dia pikirin. Kesalahan yang dia perbuat bisa bikin dia ngerasa bersalah selamanya. Hal kecil menurut kamu, buat Naya itu sesuatu yang besar. Pahami dikit adikmu itu… Bunda mau kita kembali akur.”
Here we go again, Bunda yang selalu banding-bandingin gue dan Naya. Terserah ibu suri aja deh maunya gimana. Demi menuruti permintaan Bunda Tessa yang terhormat, gue bagaikan Bandung Bondowoso yang menuruti keinginan Nyai Roro Jonggrang minta dibikinkan seribu candi. Gimana enggak? Belum kering gue berduka meratapi perceraian gue yang ketiga, Bunda udah minta sesuatu yang di luar nalar yang bikin gue makin nangis darah. Minta pindah ke Yogyakarta hanya supaya Bunda nggak kesepian lagi.
Masalahnya, proses pindah rumah dari rumah keluarga di Surabaya ke Yogyakarta itu nggak semudah geser pantat doang. Entah gimana ceritanya, rumah kami di Surabaya yang adalah rumah peninggalan almarhum Papa ternyata sudah jatuh ke tangan bank. Papa terjerat utang yang nggak sedikit yang bahkan asuransi nggak sanggup menutupi semua utang meski sudah dibayar nyawa Papa yang dulu dijaminkan. Gue yang baru beberapa bulan menyadari itu pun hanya bisa meratap rumah kenangan masa kecil gue disita bank dan Bunda terpaksa harus mengosongkan seluruh perabot dan isinya.
Ya, ya, ya, saat Naya gue kasih tahu kalau kami pindah di kompleks ini, gue memang nggak ngasih tahu yang sebenarnya tentang status rumah keluarga kami di Surabaya. Gue masih kesulitan mengambil hatinya lagi setelah bertahun-tahun dia diemin gue entah karena masalah apa. Mungkin ada saatnya nanti Naya tahu yang sebenarnya, tapi untuk sementara ini biarlah fokus Naya adalah menerima kehadiran gue dan Bunda di dekatnya lagi, yang mana that shit is so hard. Damn, why she’s so heartless?
”Terus, Ma… kalau di depan Naya, kamu nggak usah-usah ungkit-ungkit soal Naya yang nggak pernah nikah dan jadi single mother buat anaknya. Itu tuh menyakitkan buat dia,” ucap Bunda yang terus saja menguliahi gue seolah gue anak kecil yang harus dituntun orangtua bagaimana bersikap di depan teman-teman sekolahnya.
Gue cuma bisa menjawab dengan bergumam karena sudah jelas permintaan itu nggak bisa gue penuhi. Lebih tepatnya peringatan itu terlambat gue terima karena baru beberapa saat lalu gue dan Naya saling menusuk titik lemah kami masing-masing dengan hal-hal yang paling sensitif. Naya dengan statusnya ibu tunggal tanpa pernikahan dan gue yang sudah tiga kali bercerai. Sungguh dramatis hubungan kami sebagai kakak beradik. Sama-sama perempuan gagal dalam percintaan.
“ASSALAMUALAIKOOM!”
Seruan sosok anak laki-laki di depan pintu membuat lamunan gue buyar seketika. Sedikitnya gue sudah menduga siapa yang ada di depan pintu, tapi melihat langsung sosok mungil yang sudah lebih tinggi ketimbang terakhir kali kami bertemu membuat emosi gue sedikit menyeruak.
”Waalaikumsalam,” jawabku yang kini sudah berdiri di depan anak laki-laki yang gue tahu adalah anak Naya. Terakhir bertemu Nandi, usianya masih tiga tahun, dan kini anak itu sudah setinggi nyaris sebahu gue dan dengan polos menyodorkan seloyang brownies yang sepertinya bikinan ibunya.
”Halo, ganteng… Masih ingat nggak sama Tante?” tanya gue sembari mencubit pipinya.
”Tante? Bude Padma, kan?”
”Bude? Anjir, kayak tua banget gue dipanggil Bude…”
”Mamak bilang, besok malam baru bisa mampir ke rumah Bude sama Yangti, tapi sekarang lagi susah karena ada tamu yang mesti ditemui. Penting!”
Cara anak laki-laki itu menekankan kata ‘penting’ bikin gue penasaran, siapa gerangan yang tengah ditemui Naya. Mengingat perempuan itu belum pernah menikah, gue menebak-nebak apa mungkin tamunya adalah laki-laki yang bisa jadi adalah pacarnya.
”Mamak kamu, udah punya pacar belum, Ndi?”
Anak laki-laki itu mengernyitkan dahinya, tampak bingung, “Pacar itu apa, Bude?”
Gue mendadak bingung bagaimana menjawabnya. Kalau sampai anak seusia Nandi yang sepertinya berusia sepuluh tahun bahkan nggak tahu pacar itu apa, gue bahkan ragu kalau di kota ini Naya pernah berkencan atau minimal menjalin hubungan. Apa sih yang dikerjakan anak itu selama bertahun-tahun punya anak tapi nggak menikah? Bisa-bisanya dia masih betah melajang. Kemungkinannya cuma dua, entah dia berpacaran diam-diam tanpa sepengetahuan putranya atau memang nggak ada laki-laki dalam hidup Naya.
“Pacar itu… hmmm… orang yang istimewa gitu deh… yang deket banget sama mamakmu dan sering main ke rumah. Ada nggak?”
”Nggak ada, Bude…”