“Lo kejam, Pad. Nggak pernah sekali-sekalinya lo hubungin mantan laki lo ini, giliran gue udah excited karena lo akhirnya hubungin gue, yang ditanyain malah kandidat laki-laki lajang yang ideal menurut lo. Lo lagi nyari calon suami lagi apa gimana?”
”Bukan buat gue, tapi buat adek gue.”
”Adek lo yang mana? Yang laki?”
”Kalo buat adek laki ngapain gue nyari calon suami. Lo kira ini di Taiwan? Gila aja, adek laki gue masih normal kali, Nyet.”
”Ya mana gue tahu. Sepanjang kita nikah dulu, adek yang sering lo omongin ya cuma Haykal, adek laki-laki lo. Adek lo satunya jarang lo sebut namanya. Tiap gue nanya dia di mana, mana pernah mau jawab. Terus tiba-tiba lo jadi peduli sama dia? Habis diancam nggak dapat warisan apa gimana lo?”
”Lo kalau nggak mau bantuin gue, bilang aja ngapa, pake nuduh-nuduh segala…”
“Siapa yang bilang nggak mau? Gue banyak kenalan laki-laki lajang, emang lo nyari tipenya yang kayak gimana?”
Gue pun diam saat Akim—mantan suami gue yang kedua dan kini hubungan kami sudah seperti saudara tak seayah ibu—menanyakan tentang tipe laki-laki yang kubutuhkan untuk dijodohkan dengan Naya Sepertinya pertanyaan macam ini nggak bakal bisa gue jawab dengan gampangnya. Tipe laki-laki yang diinginkan Naya itu yang kayak gimana? Mungkin Naya bisa dengan gampang menjawab pertanyaan ini andai yang ditanyakan adalah seperti apa tipe pasangan idaman gue karena gue selalu melibatkan dia supaya mengenal pacar-pacar gue waktu muda dulu, atau minimal yang ingin kenal dekat sama gue.
Tapi pernahkah gue melihat langsung gimana Naya jatuh cinta? Cowok macam apa yang bikin adik gue itu jatuh cinta kalau kenyataannya gue aja nggak tahu berapa kali dia pernah pacaran.
Gosh, how would I know that?
Oh, tunggu… kayaknya gue tahu. Sepertinya ini lebih mudah ketimbang yang gue kira. Kalau nggak salah ingat, Naya pernah naksir kakak kelasnya sejak SMP. Gue nggak terlalu ingat persisnya, tapi kakak kelas itu seniornya di ekskul basket. Naya yang waktu SMP dan SMA pernah menjadi bassist band sekolah kerap diledek sahabat dekatnya yang seorang vokalis band kalau tingkah Naya kerap memasang ekspresi grogi yang bikin permainan basnya berantakan kalau si kakak kelas ini lewat.
Aha! Gue cukup bangga dengan ingatan gue yang berguna di saat yang diperlukan. Gue mesti bersyukur sama Amel, cewek vokalis temen Naya yang hobi cepuin sobatnya sendiri kalo naksir setengah mati dan bertepuk sebelah tangan dengan cowok kakak kelas. Heh, sungguh romansa abegenya nyaris mirip dengan kisah-kisah di film atau novel. Bedanya, di film-film itu dikisahkan sejoli itu bersatu. Sementara Naya, gue nggak pernah ingat kalau si kakak kelas pujaan ini bahkan menyadari kalau Naya–yang menurut gue udah keren dan lumayan gaul–naksir sama dia.
Hmm, coba gue ingat-ingat apa Naya pernah nggak sengaja kasih lihat fotonya atau menyebutkan ciri-cirinya. Bukan Naya yang kasih lihat, tapi sepertinya gue pernah melihatnya dari buku kelulusan SMP yang dipamerin sama Amel.
Siapa sih namanya?
Panda? Lifan? Arfan?
Ahhhh… Arfandana!
Cowok sawo matang, bermuka manis dan lumayan menawan. Rambut cepak tentara. Astaga, Naya… Kok bisa adek gue yang kelihatan cool, bodi semampai dan punya tatapan setajam elang betina itu mau-maunya naksir bocah kolong yang penampilannya nggak bikin menonjol. He was just fine. Kegantengannya so so lah, nggak cukup buat dibilang ganteng mampus.
Yah, siapa tahu memang tipe Naya yang kayak gitu. Who knows?
Gue nyaris melupakan cerita ini karena setelah periode naksir-naksiran hingga Naya lulus SMA, gue sama sekali nggak pernah mendengar lagi nama Arfan disebut-sebut, sampai saat Naya kelas dua SMA, gue nggak sengaja membaca buku hariannya dan Naya menuliskan: “Arfandana Hanif, Loving you since five years ago” dan gue ingat Naya mendiamkan gue selama berhari-hari karena nggak sengaja membaca buku berwarna serba hitam yang sekilas kayak buku catatan pelajaran biasa. Damn. Adek gue naksir cowok dan bertahan nggak nembak selama lima tahun?