NAMASTE!

Handi Namire
Chapter #8

Chapter 7

Orang-orang bilang wanita yang nggak mau mendukung sesama wanita lain punya tempat tersendiri di neraka. Mungkin itu ada benarnya, tapi dalam kamusku, kalau aku harus dibantu oleh si nenek sihir itu dengan dalih apa pun, aku lebih suka akulah yang dijebloskan ke neraka. Belum lama ini, Mas Erga, sosok laki-laki yang bertanggung jawab dengan terpilihnya Nandi menjadi salah satu pemeran di film superhero lokal, menghubungiku dan memberitahuku kalau pagi setelah kami mengobrol santai, dia tiba-tiba diserobot dan diinterogasi oleh perempuan yang tinggal di depan ruko salonku yang mengaku kakak perempuanku.

Aku sudah lama tidak dibuat marah oleh seseorang dan aku yakin aku cukup punya toleransi bahkan dengan jenis pelanggan yang pernah melecehkan aku terang-terangan, tapi untuk ini, kupikir toleransi sudah nggak diperlukan.

Dengan kesal aku mengetuk rumah Padma, tidak peduli kenyataan bahwa perempuan itu adalah pemilik ruko yang kutempati.

Bisa-bisanya perempuan itu membuatku ma—

“Oh, elo…” Padma membuka pintu setelah intensitas gedoranku sepertinya bisa membangunkan anjing sekarat. Yang menjengkelkan, perempuan itu seperti nggak peduli dan hanya berjalan membelakangiku sembari menguap.

Nenek sihir sialan.

“Maksud kamu apa kemarin siang pake acara interogasi Mas Erga? Apa-apaan itu? Kamu serius nanya ke dia apa dia punya perasaan sama aku? Umur kamu berapa sih, Mbak? Memangnya ini drama anak SMA, yang semua-mua mesti diukur sama perhatian, naksir-naksiran hanya karena kami kelihatan akrab???”

Tentu saja aku nggak sabar dan nggak akan bisa menunggu nyawa perempuan itu terkumpul dari keadaan setengah tidur.

“Kopi, Naya?”

Aku menoleh dan mendapati Bunda tengah turun dari tangga dan berjalan menuju pantry untuk menyeduh kopi. Jika teringat aku pun sudah lama nggak bertemu Bunda dan belum sempat mampir untuk memberi salam, ada terselip perasaan bersalah karena mungkin saja Bunda akan menganggapku anak yang nggak punya rasa hormat. Namun, aku sudah sangat terbiasa dituduh macam-macam. Dituduh perempuan sok moralis, perempuan yang diam-diam liar, anak nggak tahu diri, perempuan sok jual mahal dan banyak lainnya sampai-sampai aku sudah nggak ingat lagi mana yang paling membuatku tersinggung.

”Nggak perlu, Bunda… Aku nggak punya kebiasaan ngopi pagi hari.”

”Asam lambung?”

“Bukan. Emang cuma biasain minum air putih di rumah, biar Nandi nggak ikut-ikutan minum yang cuma bikin boros,” jawabku.

How boring,” celetuk Padma tiba-tiba yang berjalan di belakangku. Tanpa sadar aku memutar bola mataku menahan jengkel.

”Nggak usah ngomentarin gaya hidupku. Hidup kita udah masing-masing, kenapa pagi-pagi aku harus tahu kalo Mbak berusaha mencampuri urusanku yang jelas-jelas bikin salah paham?” cecarku lagi, berjalan mengikuti langkah perempuan itu yang berkelebat seperti angin.

”Ya udah, kan cuma salah paham, nggak usah panik dong,” tukas Padma santai, makin membuat darahku mendidih.

”Tapi kesalahpahaman itu bikin malu. Susah sih ya, ngomong sama orang yang nggak pernah peka dan nggak pernah nyadar kalau sikap dia itu masuknya nggak sopan,” sahutku sinis.

“Gue nggak peduli soal kesopanan kalau itu menyangkut orang yang gue sayang…”

Aku tertegun. Apa ini caranya untuk berusaha mengambil hatiku? Yeah, kayak aku bisa dibohongi dengan kata-kata murahan begitu.

”Dan aku nggak ingat tuh, aku pernah ngerasa disayang sama kakak sendiri yang pernah ngetawain aku saat aku berada di titik lemah, ngetawain keputusanku, nuduh aku sok bermoral tapi di dalam liar…”

Lihat selengkapnya