NAMASTE!

Handi Namire
Chapter #9

Chapter 8

Ralat. Pria itu bukan Arfan. Agaknya kerinduanku akan cinta yang aku tahu nggak akan ada di dunia nyata membuatku berhalusinasi sesaat dengan mengira seseorang adalah sosok yang kukenal di masa lalu. Sesaat tadi aku merasa dia begitu mirip dengan Arfan sampai aku nggak sadar mengucapkan nama itu ketika mata kami bersirobok.

Namun, ketika aku bisa melihat wajahnya lebih jelas, laki-laki ini hanya beberapa hal yang memiliki kemiripan dengan cowok yang pernah kutaksir dulu. Arfan lebih sipit dibandingkan laki-laki ini yang bermata sedikit lebar. Lesung pipit Arfan ada di sebelah kiri, sedangkan orang ini memiliki lesung di pipi kanannya. Agaknya ini yang membuatku tadi menggila sesaat. Dan satu-satunya hal yang aku yakin bahwa orang ini bukan Arfan adalah rambutnya. Selama lima tahun aku mencintai Arfan diam-diam, gaya rambut yang melekat padanya cuma gaya rambut cepak tentara. Teman-temannya bilang Arfan nyaman dengan gaya itu karena rambut aslinya terlalu kriwil kalau dibiarkan panjang. Sedangkan laki-laki ini rambutnya gondrong hingga nyaris menyentuh leher di dekat bahu. Dilihat dari jauh pun rambutnya yang cukup tebal itu lebih lembut dan jatuh ketimbang rambut Arfan.

Aku sungguh-sungguh harus berhenti memikirkan Arfan saat menangani pelanggan satu ini.

“Jadi, yang dipikirkan masnya waktu mau datang ke sini tuh, maunya potongan rambut yang gimana?” tanyaku, mencoba sopan.

“Saya bertahun-tahun gaya rambutnya sama terus, Mbak. Palingan kalau panjang sedikit, saya potong sendiri atau teman saya yang motongin.”

Alisku mengernyit. Dengan seragam safari milik ASN, seorang abdi negara sepertinya seharusnya terlarang untuk memelihara rambut yang agak gondrong, tapi yah, tahu apa aku soal tata tertib pegawai negeri sipil? Aku nggak pernah membahas soal gaya rambut dengan teman-temanku yang juga PNS.

“Oh ya? Cukup eksentrik juga ya untuk ukuran PNS, dengan rambut gondrong segini. Terus, masnya belum ada referensi kepengen punya haircut kayak gimana? Artis yang potongan rambutnya dianggap keren misalnya?”

Laki-laki itu tampak berpikir. Ekspresinya yang serius terlihat begitu polos dan kekanak-kanakan. Sepertinya dia mungkin guru honorer atau baru saja diangkat dan diresmikan sebagai ASN dengan wajah yang masih begitu muda dan penampilan yang cukup kasual.

“Nggak ada deh. Satu-satunya haircut yang pengen saya coba ya rambut ala David Bowie yang orang-orang nyebutnya Ziggy Stardust cut, tapi kayaknya saya bakal diomelin atasan kalo nekat make gaya rambut begitu.”

David Bowie?

Apa laki-laki ini lahir di generasi yang salah? Atau musik-musik 70-an atau 80-an sedang tren di kalangan anak muda? Dan, ngomong-ngomong soal haircut yang cocok dengannya, jelas potongan Ziggy Stardust juga nggak termasuk hitungan.

”Suka dengan musik-musik 70 dan 80-an? Atau masnya punya sense of fashion yang berkiblat di era segitu?”

Laki-laki itu tertawa kecil dan lesung di pipinya kembali terlihat, membuatku sesaat merasa rileks seolah aku nggak sedang bicara dengan pelanggan, melainkan dengan teman yang baru kutemui di sekolah atau bangku kuliah. Ah, kenapa aku harus mengingat-ingat perasaan semacam itu ketika yang sebenarnya aku bahkan nggak pernah mendapatkan gelar sarjana dan berhenti kuliah separuh jalan.

”Cuma musiknya saja, Mbak. Saya dengerin Queen dan Rolling Stone juga nggak tiba-tiba pengen tampil kayak Fredy Mercury atau Mick Jagger. Cuma David Bowie buat saya beda aja. Pasti Mbak bakal ngetawain saya karena bilang pengen nyobain potongan rambut dia, tapi itu keinginan sejak kecil yang belum sempat terealisasikan. Bapak saya fans berat David Bowie dan Pink Floyd. Beliau suka main musik dan nge-band yang pas saya nonton penampilannya, rambut ala Ziggy Stardust-nya itu kelihatan paling ganteng dibandingkan personel lain.”

Aku mengangguk, “Ah, paham… aku bisa bayangkan pasti ada perasaan bangga saat melihat ayah sendiri terlihat keren.”

”Betul, makanya saya punya ikatan emosional sendiri dengan gaya rambut semacam itu. Cuma… belum nemu aja momen yang tepat buat munculin style rambut begitu lagi. Maklum, ini kan bukan era Lupus-nya Hilman Hariwijaya.”

”Kamu baca Lupus? Sama dong, itu bacaanku waktu masih kecil,” ucapku antusias.

”Errrr, saya baca itu pas udah agak gede sih, belum lama lah. Itu juga minjem koleksi om saya.”

Aku mendadak terdiam, menyadari kalau kami bahkan hidup di generasi yang berbeda. Ada rasa canggung menyeruak, membuatku memaksa kembali ke percakapan profesionalku sebagai seorang stylist.

”Oke. Jadi, belum mutusin mau potongan rambut gimana?”

Lihat selengkapnya