NAMASTE!

Handi Namire
Chapter #10

Chapter 9

Saat masih kecil gue selalu mengira gue beruntung karena mendapatkan segalanya. Kecantikan yang membuat semua orang gampang suka sama gue, kemampuan mempengaruhi orang lain supaya mereka mau memenuhi keinginan gue, dan kemampuan akademik yang juga lumayan, meski yang terakhir ini mungkin dipertanyakan bagi sebagian orang, seenggaknya gue tahu isi kepala gue nggak buruk-buruk amat. Dan sekarang kepercayaan diri gue berpotensi mempermalukan gue di depan orang yang gue suka. Shit.

Nggak ada yang pernah ngasih tahu ke gue, menunggu syuting film berlangsung itu pekerjaan yang super membosankan. Untuk gue yang pernah syuting sebagai figuran di sinetron memang sering dibuat lama menunggu, tapi sungguh berbeda ketika bukan kita pemerannya. Dulu gue masih betah menunggu dan rasa penasaran masih begitu tinggi dengan apa yang terjadi di lokasi syuting. Sinetron atau FTV memang cuma mengambil lokasi syuting yang itu-itu saja. Rumah gedong, hotel berbintang, kolam renang, kafe dan beberapa set di jalanan ibukota. Berita baiknya, menunggu berlama-lama di sekitar tempat itu nggak terlalu menyebalkan. Masih ada kafe di dekat lokasi, ada tempat jajan, lapar pun tinggal pesan antar jika nasi kotak jatah pemeran sudah habis.

Sungguh berbeda dengan yang gue lakukan sekarang sekalipun tugas gue hanya menunggui keponakan yang manis. Mana pernah gue menyangka, lokasinya begitu jauh di Kabupaten Gunung Kidul dan sedikit terpencil dengan sebagian besar yang kutemui hanya bukit-bukit dan kadang hutan jati. Menyetir ke sana pun butuh waktu selama tiga jam, di tempat lokasi syuting yang memakai pemukiman salah satu desa pun gue cuma duduk-duduk menunggu selama berjam-jam dengan sinyal internet bapuk yang membangkitkan emosi. Praktis nggak ada yang bisa gue lakukan untuk mengusir jenuh selain melihat jalannya syuting dan mondar-mandir nggak jelas. Imbasnya, gue jadi ekstra caper ke astrada bertampang bak dewa yunani demi membuatnya terkesan, termasuk dengan menawarkan diri melakukan hal yang jelas-jelas nggak gue pahami. Menjadi admin media sosial untuk film yang sedang dia gawangi, film yang sedang masuk proses pasca produksi.

Semua terjadi karena gue kurang kerjaan menguping percakapan si astrada dan beberapa kru kameramen ketika sedang break syuting.

“Pasca produksi film Sahara Rasa sebentar lagi beres. Editing udah mau kelar dan harusnya sebentar lagi trailer filmnya rilis,” ucap Erga yang dia sampaikan sembari merokok. Ergh, gue nggak terlalu suka laki-laki perokok, tapi kenapa kalau Erga yang melakukannya, rasanya fine-fine saja, malahan dia kelihatan begitu estetik.

“Baguslah. Terus kenapa muka lo malah bingung begitu?” tanya salah satu kameramen yang mengoperasikan kamera besar yang diderek dengan alat besar dan orang-orang di sini menyebutnya dengan dengan kamera jimmy jib.

”Ini proyek ambisius gue sebagai sutradara utama sekaligus produser. Dan gue capek bener sama astrada yang gue tugasin kerjaannya sering molor dan susah disiplin. Seringnya hal-hal receh pun gue masih turun tangan, termasuk kelola medsos yang udah dibikin. Ini gara-gara Boris si astrada ngehe itu, bilangnya beres beres udah ada adminnya, tahunya memble.”

”Terus?”

”Target gue di ini film emang buat festival sih, tapi tetep aja gue mesti maksimalin marketing film ini, minimal setelah tayang di festival, ada exposure yang bikin penonton penasaran. Masalahnya exposure setelah festival doang nggak cukup. Gue butuh ada awareness, butuh orang-orang tahu. Cuma media sosial yang gua andalin, tapi malah ngehe gini. Udah deket trailer keluar, follower malah masih di angka seribuan.”

”Lo beli aja follower, susah amat…”

”Bacot lo tuh ya… harga diri gue dikemanain? Lagian juga yang begituan pasti ketahuan, kebaca lah, dikira pengguna medsos pada bego apa?”

”Ya udah sih, lo tinggal rekrut admin medsos aja yang oke. Lo bayar dan suruh kerja.”

”Nggak sempet lagi buka rekrutmen begituan, kayak kerjaan gue nggak banyak aja. Lo tahu sendiri, film ini baru mulai syuting dan rasanya kepala udah di kaki, kaki udah di mana gue kagak tahu dah…”

Dan, seperti yang sudah diduga, di situlah gue dengan sok pahlawan mengajukan diri dengan sukarela.

”Gue bisa kok, jadi admin khusus film lo,” ucap gue yang tiba-tiba menyela percakapan, membuat dua orang itu bahkan nggak sanggup berkata-kata melihat kenekatan gue.

”Errr, lo itu—“

Erga tampak berusaha keras mengingat-ingat. Sungguh, saat ini gue bakal kabur saja kalau sampai gue nggak meninggalkan kesan di benak Erga yang artinya gue segitu nggak pentingnya di mata dia. Padahal sudah empat hari gue mondar-mandir sebagai tukang antar jemput Nandi di lokasi syuting.

”Ahh… lo budenya Nandi ya, kan?” tebaknya.

Bude? Gosh, I hate that… Yah, selama dia nggak manggil gue dengan sebutan “Ibu”, masih sangat aman untuk kewarasan gue.

Yes, that’s me! Sori ya, gue nggak sengaja nguping percakapan kalian yang makin lama makin serius.”

Lihat selengkapnya