“Jadi lo–maksudku… kamu udah pernah ketemu sama Naya?” cecar gue saat menelepon Allan malam setelah gue sukses merayu Naya supaya bersedia bantu gue mengelola akun medsos proyek film Erga. Terkutuklah Naya yang menyindir cara bicara gue sampai akhirnya gue merasa bersalah sendiri hanya karena ngomong dengan cara bicara gue yang biasa.
“Ehm, di hari kita ketemu itu, sebelumnya saya potong rambut dulu di salon depan rumah Mbak Padma. Dan, saya jadi nggak sengaja ketemu sama owner salon itu.”
“Iya itu Naya, kenapa kamu nggak bilang?”
”Hari itu saya beneran nggak fokus, Mbak. Saya jarang ketemu orang dan seringnya di tempat kerja dan di rumah, lalu tahu-tahu Bang Akim bilang pengen ngenalin saya ke perempuan. Dia bilang saya disuruh datang ke rumah Mbak Padma, janda yang kompleks rumahnya depan salon. Karena dia nyebut janda, saya pikir Mbak yang mau dijodohin sama saya.”
”Aduh, Akim bego bener dah, kenapa dia nggak jelasin dulu ke kamu sih? Sori ya hari itu aku buru-buru pergi dan kita jadinya cuma ketemu bentar. Intinya yang udah pernah gue—aku bilang ke kamu kalau orang yang dijodohkan sama kamu itu bukan aku, tapi adikku.”
”Iya, kemarin Mbak Padma sudah bilang,” ucapnya. Entah kenapa gue menangkap nada kelegaan dalam suaranya yang terdengar rileks ketimbang waktu kami bertemu.
”Kenapa? Kamu lega orang yang dijodohin sama kamu bukan aku?”
Gue memang nggak bisa melihat ekspresinya saat kami membicarakan ini, tapi kurasa tebakan gue benar adanya.
”Saya cuma lega karena orang yang mungkin jadi jodoh saya ternyata orang yang menarik dan sepertinya punya selera musik dan hobi yang sama dengan saya.”
”Really? Jadi waktu kamu potong rambut di salon itu kamu sempat ngobrol sama Naya?”
”Begitulah… Dia baik banget untuk orang yang polos dan nggak tahu banyak soal gaya rambut. Kadang saya berpikir, pasti menyenangkan kalau kami bisa ngobrol lebih banyak.”
Makes sense, jika melihat reaksi Naya yang sepertinya nggak suka dengan fakta kalau gue minta bantuan Allan untuk membantu gue mengelola akun film, artinya gue dan Allan akan lebih sering berduaan. Padahal, Naya nggak seharusnya khawatir karena orang yang dijodohkan dengan Allan kan dia sendiri. Ah, tapi soal ini gue belum pernah bicarain ini sama dia karena tahu dia bakal marah kalau terang-terangan gue jodohin dan bisa jadi sikap antipatinya akan membuat misi suci gue bakal gagal total.
Wait, sepertinya gue punya cara lain supaya hubungan Naya dan Allan bisa berjalan natural tanpa Naya merasa dia sedang dijodohkan.
”Hey, Allan… gu—aku punya permintaan, malam ini kamu bisa datang ke rumah nggak?”
***
“Udah gitu doang? Lo—maksudnya, kamu bikin perintah di situs AI terus—“
”ChatGPT,” ralatku singkat.