Wanita setengah baya itu melihat dari kejauhan sosok putri keduanya yang meninggalkan rumah dengan keraguan. Alih-alih pergi dan kembali ke ruko yang juga adalah tempat tinggalnya, dilihatnya perempuan itu mengeluarkan sebatang rokok dari bungkus rokoknya yang dia keluarkan dari saku celana khakinya dan berdiri di dekat salah satu gazebo di halaman rumah. Naya tampak gamang antara menyalakan rokok atau hanya menjepit benda itu di bibirnya. Wanita itu tahu benar, putrinya yang ini akan selalu mempertimbangkan banyak hal bahkan dalam urusan sepele sekalipun.
Apa yang sedang dipikirkannya? Teja mengingat-ingat rencana yang ingin dijalankan putri sulungnya. Menjodohkan Naya dengan Allan termasuk dalam salah satu rencana itu, tapi apa yang terjadi kalau pemeran utama dalam perjodohan itu justru menyingkir dan menyendiri di luar?
”Bunda lihat kamu tadi sedang ngobrol dengan Padma dan Allan, kenapa kamu malah di sini? Memangnya Padma nggak ngizinin kamu merokok di dalam?” Teja memberanikan diri mendekati putrinya dan mengajaknya bicara, sesuatu yang dari kemarin-kemarin membuatnya ragu-ragu jika hanya bicara berdua dengan Naya.
Ada kecanggungan yang sukar dijelaskan antara keduanya dan Teja tidak bisa melupakan kata-kata Padma yang jelas-jelas menegaskan di antara dirinya dan Padma, Naya lebih membutuhkan permintaan maaf tulus dari ibunya sendiri.
Mungkinkah ini saatnya?
“Aku nggak mau ganggu, Bun. Track record-ku sebagai obat nyamuk Padma nggak perlu dilanjutkan lagi bahkan ketika kami udah gede. Aku yakin Padma udah bisa jagain dirinya sendiri,” jawab Naya yang membuat Teja tidak mengerti.
”Maksud kamu apa? Bukankah yang dijodohkan sama Allan itu—“
”Aku pulang dulu, Bun. Aku pura-pura mau bantuin Nandi ngerjain PR. Jangan sampai Padma tahu aku masih di sini.” Naya kini melangkahkan kakinya keluar dari halaman dan Teja buru-buru mencegahnya.
”Nay!”
Naya menoleh, “Ya?”
”Mau sampai kamu merahasiakan itu? Kenapa kamu pikir dengan merahasiakan soal itu dari Padma kamu sudah melakukan hal yang benar?”
Teja sudah tidak tahan lagi. Sepertinya putrinya yang satu ini tidak pernah betah berpanjang-panjang bicara hanya berdua dengan ibunya sendiri, Jika sudah tidak ada waktu lagi, berbasa-basi jelaslah bukan pilihan yang ia punya.
”Aku nggak merahasiakan apa-apa, Bun. Aku cuma nggak nemu apa bagusnya kalau Padma tahu soal itu. Aku nggak masalah kalau Bunda memberitahu Padma, terserah saja, tapi Bunda lah yang tinggal sama Padma. Hubunganku dengan Padma dari dulu sudah memburuk, nggak penting Padma tahu apa nggak. Berbeda denganmu yang tinggal dengannya.”
Teja tidak bisa menyembunyikan kegamangannya. Sikap pasif agresif putri keduanya adalah hal yang membuatnya teramat sulit bersimpati dengan Naya. Perempuan itu selalu menepis simpati dan bantuan siapa pun yang ingin merangkulnya atas nama harga diri yang sekeras baja. Entah bagaimana Teja mendidiknya sejak dulu hingga menghasilkan seorang putri dengan watak yang terlalu kuat tapi juga sekaligus sangat rapuh. Apakah dirinya sudah melakukan kesalahan yang tidak bisa dimaafkan?