Laki-laki itu menahan rasa gugupnya. Dari tadi ia sudah meneguk gelas orange juice yang ke-empat. Kalau terus begini, lama-lama dirinya akan menjadi penghuni tetap kamar mandi keluarga di rumah ini dan hapal betul berapa jumlah ukiran kucing di keramik lantai kamar mandinya. Meski Padma memintanya datang ke rumah ini dengan alasan untuk meminta bantuan urusan pengelolaan media sosial sebuah akun promosi film, tapi yang dari tadi mereka lakukan cuma mengobrol dan Padma bertanya-tanya seputar pekerjaannya, gaji, golongan dan kemungkinan untuk jenjang karir ke depannya. Persis yang ditanyakan calon ibu mertua kepada calon menantunya. Masalahnya, bagaimana mungkin Allan merasa dirinya adalah calon menantu ketika sosok calon istrinya saja tidak ada di sini.
Allan tidak yakin lagi apa yang direncanakan Padma ketika memintanya berpura-pura di depan adiknya bahwa mereka berdua harus terlihat mesra seperti orang pacaran. Apa sikap yang begitu sudah sesuai dengan keinginan wanita itu yang ingin menjodohkan dirinya dengan Naya, adiknya?
Sudah satu jam sejak Naya pergi dan berpamitan pulang. Allan tidak perlu lagi berpura-pura mesra dengan Padma dan sejak tadi mereka hanya bicara tentang hal-hal teknis seputar cara mengedit foto dan video dengan satu aplikasi yang sekarang digunakan jutaan umat untuk kepentingan infografis dan media sosial, Canva. Ia tidak bisa menahan diri lagi dan memutuskan untuk bertanya.
”Mbak Padma…”
”Hmm?”
”Sebenernya, yang mau dijodohin sama saya itu siapa? Mbak atau Mbak Naya?”
”Kamu sukanya sama siapa hayo?” Nada suara Padma kedengaran tidak serius dan bagai meledek dirinya yang jelas minim pengalaman urusan percintaan.
”Mbak Naya.”
Entah Padma akan memberikan solusi yang sesungguhnya atau tidak, tapi Allan tidak melihat keuntungan untuk terus-menerus berbasa-basi dan berputar-putar tentang rencana perjodohan yang sempat membuatnya berpikir amat serius hingga nekat memotong rambut yang sudah menjadi ciri khasnya. Namun, jika ini menjadi hal yang serius dan jika dirinya hanya diperbolehkan memilih salah satu dan tidak boleh mengubah pilihan selamanya, Naya menjadi satu-satunya pilihan yang masuk akal.
”Terang-terangan banget ya kamu… Segitu nggak sukanya sama diriku?”
Allan mengabaikan gaya bicara Padma yang berubah-ubah antara menggunakan sebutan aku-kamu, lalu kembali menjadi lo-gue seperti sebelumnya. Seolah dia sedang berusaha keras mengubah cara bicaranya, entah demi siapa.
“Saya cuma nggak suka basa-basi, kayak yang kita lakukan. Kalau Mbak berniat menjodohkan saya sama Naya, kenapa saya malah disuruh pura-pura mesra sama Mbak? Bukannya ini malah bikin Naya salah paham?”
”Kamu jangan terlalu polos. Tadinya, aku berniat jodohin kamu sama Naya dengan cara biasa, tapi seperti yang aku ceritakan, sudah sepuluh tahun aku nggak akur sama adikku. Tiba-tiba mau jodohin dia sama aja aku sok-sokan main perintah nyuruh dia nikah. Tanpa kamu nunggu jawabannya, dia pasti sudah nolak ide perjodohan ini duluan.”
”Ya kalau gitu nggak usah jodohin, saya toh udah suka dia duluan sejak kami ketemu di salon, tapi karena saya mikir saya bakal dijodohin sama orang lain dan dia tahu itu, saya nggak berani inisiatif duluan. Saya bisa mikir cara lain buat deketin dia kok…”
”Ya itu juga bisa, tapi aku mikir cara ini bakal lebih cepat deketin kalian.”
”Kok bisa?”
”Kamu nggak ngerti, tapi Naya selalu bisa menaruh perhatian lebih pada siapa saja yang dekat sama aku. Dia bakal menganggap kamu lebih menarik kalau kamu berstatus pacarku.”
”Kok bisa gitu? Memangnya dia pernah rebut pacar Mbak Padma?”