“Sudah tenang saja, nanti biar saja Padma yang ambil motornya. Jarang-jarang kan Bunda bisa naik becak ditemani laki-laki berondong begini?” Canda Bu Teja yang dengan akrab mengaitkan tangan di lengan Allan.
Sedikit banyak Bu Teja memang mirip dengan Padma yang mudah berakrab-akrab dengan sosok yang baru mereka kenal. Namun, jika ada yang membedakan itu adalah Bu Teja yang jelas terlihat dia menyembunyikan kecemasannya dibalik sikap ceria dan ramah yang berlebihan. Allan melihat sendiri bagaimana sosoknya yang linglung saat di rumah satu jam yang lalu dan saat sosok wanita ini salah memakai sandal. Kekhawatirannya benar, sekiranya memang ada hal yang membuat wanita ini tampak begitu terpukul. Apa ada sesuatu yang terjadi?
”Bunda, apa ada sesuatu yang terjadi sampai Bunda jadi mendadak linglung begini?”
”Kenapa? Kamu mengira Bunda lagi nggak sehat?”
”Mbak Padma tadi khawatir setengah mati dan akhirnya cerita kalau Bunda sepertinya nggak baik-baik saja. Saya memang orang luar, tapi saya nggak keberatan bantu kalau Bunda butuh bantuan. Dan lagi, ini udah sore banget, Bunda. Kenapa naik becaknya malah jauh dari rumah dan bukannya pulang?”
”Bunda cuma kangen naik becak. Jadi inget zaman dulu waktu Bunda masih muda dan belum nikah. Waktu itu Bunda masih berani kemana-mana sendiri dan selalu ada tukang becak langganan yang antar Bunda kemana-mana. Kadang sepedaan, tapi naik becak lebih syahdu, bisa dengerin cerita-cerita abang becaknya yang macam-macam curhatnya. Berangkat Bunda nangis-nangis, setelah dengerin cerita abang becak yang ngenes dan sedih, Bunda jadi berasa manja, masak gitu doang nangis. Kalah sama perjuangan abang becak yang meski capek tapi nggak ngeluh…”
”Bersyukur karena orang lain lebih menderita begitu maksudnya?” tanya Allan dengan nada bercanda yang disambut dengan cubitan di lengannya. Sebentar kemudian dia mengaduh.
”Kedengaran jahat ya, kesannya kayak mensyukuri penderitaan orang? Waktu itu Bunda cuma lagi dibukain mata Bunda yang merasa hidupnya paling merana, paling menderita. Waktu sudah berbaik hati mengizinkan Bunda berduka, tapi waktu juga yang mau Bunda segera bangkit dan sadar di dunia ini yang menderita bukan cuma Bunda. Dan naik becak dan melihat sisi lain yang sering Bunda abaikan membuat Bunda sadar, yang Bunda alami nggak seberapa dibandingkan penderitaan orang-orang itu…”
Allan hanya mengangguk-angguk, tidak mendebat.
“Semua orang berjuang dengan cara masing-masing, sesuai porsi masing-masing. Kesedihan, entah kecil atau besar itu akan terus ada dan cara orang lain mengatasi kesedihan mereka itu beda. Kalau sedih, Bunda palingan bisa ceria lagi dengan ngobrol sama tetangga atau tukang becak, ngobrol sama kamu juga…”
Bunda menepuk bahu Allan yang kembali membuat laki-laki itu mengaduh. “I-iya, Bunda…”
”Tapi Bunda masih belum ngerti apa yang dilakukan anak-anak Bunda kalau kesedihan sudah nggak tertahankan buat mereka. Waktu Padma kehilangan putrinya yang masih umur dua tahun, Padma menangis selama tujuh hari non stop, besok-besoknya dia tertawa-tawa melihat rekaman video putrinya dan muji betapa lucu Rasha kalau difoto, betapa menggemaskannya anak itu kalau marah dikerjain dan digodain mamanya. Kalau Bunda malah nggak sanggup lihat foto-foto Rasha, tapi beda dengan Padma… foto-foto dan video yang disimpan dan ditontonnya setiap saat adalah bukti bahwa putrinya pernah hadir dalam hidupnya dan tahu-tahu Padma sudah nggak menangis lagi dan hidup seolah putrinya masih hidup dan tertawa-tawa dalam tayangan video di ponselnya.”